Jadi Kuasa Hukum Hasto, Febri Diansyah Akui Dapat Kritik dari Kolega di KPK

2 hours ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Mantan juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah, mengaku mendapat kritikan dari koleganya karena menjadi kuasa hukum Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto.

“Saya mendapat sejumlah respons dari teman yang pernah berinteraksi dengan saya. Baik yang di KPK dulu ataupun bukan di KPK. Interaksi itu beragam, ada yang mendukung, mengkritik, ada juga yang relatif netral,” kata Febri ketika dikonfirmasi Tempo seusai sidang perdana Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat, 14 Maret 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Febri menanggapi semua respons dari koleganya itu sebagai sebuah masukan dan menghargainya. Adapun keputusannya menjadi kuasa hukum Hasto di perkara dugaan suap dan perintangan penyidikan dia sebut sebagai pilihan profesional seorang advokat. “Saya sedang menjalankan tugas profesi,” ucap Febri. 

Menurut Febri, kehadirannya sebagai kuasa hukum dalam persidangan Hasto untuk menciptakan keseimbangan dalam penegakan hukum. Dia berharap seluruh perkara yang menyeret elite partai banteng itu bisa berjalan sesuai dengan keadilan yang sebenar-benarnya.

“Di satu sisi, kalau dilihat di ruang pengadilan, di sebelah kiri itu ada meja penuntut umum dan di sebelah kanan ada menjadi penasihat hukum. Nah, keseimbangan diharapkan terjadi nanti. Kami akan menguji bukti-bukti yang sudah ada dan berkasnya sudah lengkap semua,” ujar Febri.

Febri menegaskan kehadiran dirinya sebagai kuasa hukum Hasto di persidangan ini, tidak akan memberi pengaruh apapun terhadap proses pengambilan keputusan. Meskipun dia pernah menjadi bagian dari lembaga antirasuah itu.

Sebelumnya, mantan penyidik senior KPK, Praswad Nugraha, mengkritisi keputusan Febri Diansyah yang menjadi tim hukum Hasto Kristiyanto. Menurut Praswad, keputusan itu menunjukkan level integritas dari Febri. Namun semua pilihan dianggapnya menjadi hak masing-masing individu.

Praswad menilai Febri mengetahui peristiwa operasi tangkap tangan terhadap Harun Masiku yang gagal di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian kala itu. "Bagaimana situasi teror yang dialami tim penyelidik dan penyidik KPK di lapangan, diintervensi. Bahkan dicoba untuk dikriminalisasi dan difitnah saat sedang melaksanakan shalat di masjid PTIK," ujar Praswad melalui keterangan tertulis, Kamis, 13 Maret 2025. 

Terlebih, kata dia, masih kental di ingatan para penyelidik dan penyidik KPK pada 2019, ketika Hasto merupakan pihak yang aktif mendukung keputusan mantan presiden Joko Widodo melemahkan KPK melalui revisi UU KPK. Pada akhirnya, 57 penyidik dan pegawai KPK disingkirkan secara bengis dengan melanggar hak asasi manusia. 

Di sisi lain, Praswad menilai langkah Febri menjadi kuasa hukum Hasto menambah daftar jejaknya dalam keberpihakan kepada tersangka korupsi. Sebelumnya, kata dia, Febri pernah berhadapan dengan KPK di pengadilan saat menjadi kuasa hukum Syahrul Yasin Limpo yang pada akhirnya terbukti bersalah. "Di sini bisa dilihat bahwa konstruksi pembuktian unsur perkara tindak pidana korupsi tidak bisa dilawan dengan pencitraan dan jualan dongeng cerita romantika saat menjadi jubir KPK," kata Praswad.

Menurut Praswad, Febri harus menggarisbawahi bahwa dia tidak pernah menjadi penyidik maupun penyelidik. Artinya, tidak pernah melaksanakan proses penyidikan, penyelidikan, serta pengumpulan alat bukti saat bekerja menjadi pegawai KPK. 

Semua yang disampaikan Febri terkait dakwaan Hasto, menurut Praswad justru menegaskan bahwa kehadirannya tidak memberikan nilai tambah dalam pembelaan di persidangan. Dia menuding Febri hanya mengedepankan pencitraan. 

"Kehadiran yang bersangkutan tidak memberikan nilai tambah dalam pembelaan Hasto di persidangan, karena pencitraan dan misleading informasi kepada publik tidak pernah mengalahkan kebenaran fakta serta kelengkapan alat bukti yang dimiliki oleh KPK dalam perkara ini," ujarnya.

Annisa Febiola berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |