TEMPO.CO, Jakarta - Kebijakan zonasi sekolah dalam sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) pertama kali diperkenalkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun 2017. Kebijakan ini diinisiasi oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Muhadjir Effendy, dengan tujuan besar menciptakan pemerataan kualitas dan akses pendidikan bagi semua anak Indonesia.
Mantan Menteri Muhadjir Effendy menganggap bahwa zonasi adalah langkah strategis untuk mereformasi sistem pendidikan di Indonesia. “Target kita bukan hanya pemerataan akses pada layanan pendidikan saja, tetapi juga pemerataan kualitas pendidikan,” ujarnya dalam Sosialisasi Peraturan/Kebijakan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah di Jakarta, 30 Mei 2018. Zonasi diharapkan menghapuskan budaya favoritisme dan "kastanisasi" yang sering kali membedakan kualitas sekolah berdasarkan status akademis siswa yang diterima. Dengan zonasi, seleksi berdasarkan jarak diutamakan, bukan berdasarkan nilai.
Sejak pertama kali diimplementasikan pada tahun 2017, kebijakan ini mengalami berbagai penyempurnaan. Pada 2018, Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 dikeluarkan untuk memperbaiki kebijakan yang sebelumnya tertuang dalam Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017. Permendikbud yang baru ini mempertimbangkan beberapa keluhan yang muncul, seperti tentang jumlah rombongan belajar (rombel) dan kuota siswa di setiap rombel. Melalui aturan ini, diharapkan kebijakan zonasi semakin optimal dan mengurangi masalah yang terjadi dalam penerapan tahun-tahun sebelumnya.
Pada akhir 2019, Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim meluncurkan program “Merdeka Belajar” yang mencakup beberapa inisiatif kebijakan pendidikan, salah satunya adalah penerapan PPDB dengan sistem zonasi. Di bawah kebijakan ini, PPDB berbasis zonasi lebih fleksibel untuk mengatasi ketimpangan akses dan kualitas pendidikan, terutama di daerah-daerah yang secara geografis atau ekonomi masih tertinggal.
Nadiem Makarim memperkenalkan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019, yang memberikan tambahan fleksibilitas dalam pembagian jalur PPDB. Komposisi yang diatur adalah minimal 50% untuk jalur zonasi, minimal 15% untuk jalur afirmasi, maksimal 5% untuk jalur perpindahan, dan sisa 0-30% untuk jalur prestasi, yang dapat disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Zonasi bertujuan untuk memberikan peluang lebih besar bagi siswa yang tinggal di sekitar sekolah, sekaligus memberi tempat untuk siswa berprestasi melalui jalur prestasi yang porsinya dapat diatur sesuai kebutuhan daerah.
Dalam penerapannya, zonasi diharapkan tidak hanya berfokus pada pemerataan siswa, namun juga memudahkan pemerintah daerah dalam merencanakan kebutuhan pendidikan, terutama dalam jumlah siswa baru di tiap zona.
Dengan adanya zonasi, kepala dinas pendidikan setempat dapat memperkirakan jumlah siswa yang akan masuk ke sekolah di wilayah mereka dan menentukan kuota rombel yang ideal. Hal ini membantu mengurangi ketimpangan yang sering kali terjadi, di mana sekolah di daerah tertentu memiliki kelebihan siswa, sementara sekolah lain kekurangan.
Selain pemerataan akses siswa, zonasi juga bertujuan untuk memperbaiki komposisi dan kualitas guru di setiap daerah. Mendikbud Nadiem Makarim menyatakan bahwa kebijakan zonasi tidak dapat berjalan optimal tanpa adanya pemerataan guru, baik dari segi jumlah maupun kualitas. Zonasi mendorong redistribusi guru, terutama guru-guru berkualitas, untuk ditempatkan di sekolah-sekolah di seluruh wilayah Indonesia agar semua sekolah memiliki kualitas pengajaran yang merata.
Pemerataan ini diharapkan dapat mengurangi ketimpangan antara sekolah-sekolah di kota besar dengan di daerah pedalaman. Selama ini, banyak guru berkualitas terkonsentrasi di sekolah favorit atau di daerah perkotaan. Dengan redistribusi yang lebih baik, diharapkan siswa di seluruh pelosok negeri dapat merasakan kualitas pendidikan yang setara. Menurut Nadiem, zonasi merupakan bagian penting dalam mewujudkan cita-cita keadilan sosial dalam pendidikan.
Namun, kebijakan zonasi ini juga menghadapi tantangan dan berbagai tanggapan dari masyarakat. Beberapa orang tua merasa bahwa zonasi sekolah membatasi pilihan bagi anak-anak yang berprestasi untuk bersekolah di sekolah yang dianggap favorit. Nadiem Makarim menyadari adanya aspirasi masyarakat yang menginginkan jalur prestasi lebih diapresiasi. Oleh karena itu, ia memperkenalkan fleksibilitas dengan menambahkan jalur prestasi hingga maksimal 30%, sebagai bentuk kompromi antara kebutuhan pemerataan dan penghargaan terhadap prestasi akademis siswa.