JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Vonis 4,5 tahun untuk Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) menjadi kontroversi dan sekali lagi menambah deretan “ketimpangan hukum” yang dipertontonkan oleh para penegak hukum di tanah air.
Menyikapi hal itu, tim kuasa hukum Tom Lembong resmi mengajukan banding atas putusan tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (22/7/2025), dengan alasan bahwa majelis hakim dinilai mengabaikan fakta penting dalam persidangan, termasuk peran Presiden Joko Widodo dalam kebijakan impor gula yang menjadi pokok perkara.
“Fakta bahwa kebijakan ini merupakan perintah dari Presiden Joko Widodo diabaikan begitu saja,” ujar Zaid Mushafi, salah satu anggota tim pembela Tom.
Hal ini diperkuat oleh keterangan saksi Felix Hutabarat, eks Ketua Induk Koperasi Kartika (Inkopkar) milik TNI AD, yang dalam kesaksiannya menyatakan bahwa pihaknya ikut terlibat dalam impor gula berdasarkan instruksi dari Kepala Staf TNI AD, yang disebut menerima arahan langsung dari Presiden kala itu.
Namun dalam proses persidangan, dua nama yang dianggap sebagai saksi kunci—mantan Menteri BUMN Rini Soemarno dan Presiden Jokowi—tak pernah hadir untuk memberikan keterangan di depan majelis hakim.
Ketidakhadiran Rini Soemarno menjadi sorotan utama dalam sidang pembacaan putusan pada Jumat (18/7/2025). Majelis hakim menilai alasan absennya Rini karena urusan keluarga tidak termasuk kategori halangan yang sah menurut hukum acara pidana. Oleh karena itu, berita acara pemeriksaannya (BAP) tidak dipertimbangkan sebagai alat bukti yang sah.
Keputusan tersebut memicu keberatan keras dari pihak kuasa hukum. Mereka menilai BAP Rini seharusnya menjadi kunci untuk membuktikan bahwa keputusan impor dilakukan atas dasar persetujuan dan kebijakan bersama di level pemerintahan, bukan inisiatif sepihak klien mereka.
“Mengabaikan kesaksian penting seperti ini adalah tindakan yang merugikan proses pembelaan,” ujar Ari Yusuf Amir, salah satu pengacara Tom, dalam sidang sebelumnya.
Tak hanya Rini, Presiden ke-7 RI Joko Widodo juga tidak pernah dihadirkan selama proses hukum berlangsung. Padahal, tim pembela menyatakan bahwa keputusan untuk mengimpor gula melibatkan koordinasi antar kementerian dan lembaga di bawah arahan Presiden.
Menurut pengacara Zaid Mushafi, ketidakhadiran dua tokoh penting tersebut membuat konstruksi perkara menjadi timpang. Ia menilai jaksa penuntut umum tidak menunjukkan upaya maksimal untuk menghadirkan saksi-saksi yang bisa meringankan terdakwa, sebagaimana dijamin dalam KUHAP Pasal 65.
“Jika saksi yang bisa membuktikan bahwa klien kami hanya menjalankan kebijakan negara tidak dipanggil, bagaimana mungkin vonis dapat dijatuhkan dengan adil?” ujarnya.
Zaid juga mengkritik hakim yang disebutnya tidak mempertimbangkan ketiadaan niat jahat (mens rea) dalam tindakan Tom Lembong. Ia menyebut bahwa tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa kliennya bertujuan merugikan negara.
“Vonis ini sarat dengan nuansa politis dan jauh dari semangat keadilan,” katanya.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menghukum Tom Lembong dengan pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan dan denda Rp750 juta, subsider 6 bulan kurungan. Namun, tim kuasa hukum menilai bahwa vonis tersebut lebih mencerminkan tekanan struktural daripada fakta persidangan yang objektif.
Kritik juga muncul terkait keputusan hakim yang melakukan penghitungan kerugian negara sendiri, tanpa sepenuhnya mengacu pada hasil audit resmi dari BPKP. Hal ini menimbulkan tanda tanya mengenai otoritas pengadilan dalam melakukan interpretasi kerugian negara di luar lembaga auditor yang ditunjuk.
Sejumlah pihak mempertanyakan apakah proses hukum ini sengaja diarahkan untuk menjadikan Tom Lembong sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab. Ketiadaan saksi utama seperti Jokowi dan Rini menimbulkan dugaan adanya “zona aman” bagi aktor-aktor di lingkaran kekuasaan.
Vonis telah dijatuhkan, tetapi perdebatan tentang rasa keadilan masih belum berakhir. Bagi publik, absennya dua saksi kunci dan diabaikannya fakta-fakta strategis justru menyisakan tanda tanya besar terhadap integritas dan keberpihakan sistem peradilan di Indonesia. [*] Berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.