Kisah PT Sritex yang Pailit Dililit Utang Setelah 58 Tahun Berjaya

7 hours ago 8

TEMPO.CO, Jakarta - PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex tak lagi beroperasi buntut tak bisa membayar utang atau pailit dan resmi tutup per Sabtu, 1 Maret 2025. Akhir perjalanan bisnis pabrik tekstil terbesar di Asia Tenggara itu dikonfirmasi melalui rapat kreditur kepailitan Sritex pada Jumat, 28 Februari 2025.

Berdiri sejak 1966, Sritex terpaksa menyerah 58 tahun kemudian. Perusahaan ini tianggap tidak memenuhi kewajiban pembayaran utang sejumlah debitur yang sudah disepakati. Hingga akhirnya pengadilan menyatakan pailit pada Oktober 2024. Kasasi sempat diajukan namun ditolak dan menegaskan kebangkrutan Sritex

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut majalah Tempo edisi 3 November 2024 dalam laporan bertajuk “Pita Hitam di Pabrik Seragam”, dikenal sebagai produsen seragam militer untuk berbagai negara, Sritex mulanya adalah toko kain di Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah. Perusahaan ini didirikan Muhammad Lukminto pada 1966. Dua tahun setelah itu, Lukminto membuka pabrik cetak pertama untuk menghasilkan kain putih dan berwarna.

Sritex kemudian terdaftar sebagai perseroan terbatas di Kementerian Perdagangan atau Kemendag pada 1978 dan bisnisnya terus bergulir. Pada 1982, Lukminto membangun pabrik tenun pertama Sritex. Sepuluh tahun kemudian, perusahaan ini memperluas pabrik dengan membangun empat lini produksi dalam satu atap, dari pemintalan, penenunan, sentuhan akhir, hingga busana.

Sritex pertama kali menerima pesanan seragam militer pada 1990. Pembeli mereka saat itu adalah Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), kini Tentara Nasional Indonesia (TNI). Setelah menggarap order ABRI, Sritex juga dipercaya menjadi produsen seragam tentara negara-negara yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Sebelum bangkrut, Sritex setidaknya pernah menjadi produsen seragam militer untuk 35 negara. Negara-negara yang dipasok oleh Sritex untuk kebutuhan tekstil militer, antara lain Jerman, Inggris, Malaysia, Australia, Timor Leste, Uni Emirat Arab, Kuwait, Brunei Darussalam, Singapura, Amerika Serikat, Papua Nugini, Selandia Baru, Tunisia, hingga Turki.

Selain memproduksi seragam tentara, Sritex turut mengekspor benang dan kain ke 100 negara. Dalam setahun, Sritex memproduksi 1,1 juta bal benang, 179,9 juta meter kain mentah, 240 juta yard kain berwarna, serta 30 juta potong pakaian jadi dan seragam. Sebagian besar barang ini dibuat di pabrik seluas 79 hektare di Sukoharjo.

Badai Covid-19 dan kejatuhan Sritex

Selama 58 tahun berdiri, Sritex beberapa kali menghadapi gejolak. Kala terjadi krisis moneter 1998, misalnya, perusahaan ini terguncang, tapi bisa selamat dan malah melipatgandakan pertumbuhan hingga delapan kali lipat pada 2001. Di masa pandemi Covid-19, Sritex kembali diterpa badai, tapi kali ini berujung krisis berkepanjangan dan berakhir tinggal sejarah.

Kondisi ini tecermin dalam laporan keuangan Sritex. Pada 2019, angka penjualannya mencapai US$ 1,3 miliar atau naik 8,52 persen dibanding tahun sebelumnya. Dengan nilai penjualan tersebut, Sritex membukukan laba bersih US$ 85,32 juta atau sekitar Rp 1,2 triliun, antara lain karena memproduksi masker dan alat pelindung diri lain.

Namun, pada 2020, situasi berbalik arah karena angka penjualan anjlok menjadi US$ 847,5 juta. Di sisi lain, beban pokok penjualan naik dari US$ 1,05 miliar menjadi US$ 1,22 miliar. Akibatnya, Sritex mencatat kerugian untuk pertama kali sejak melantai di pasar modal.

Pada 2021, Sritex membukukan rugi bersih US$ 1,08 miliar atau sekitar Rp 15,4 triliun. Pada semester I 2024, kerugian menipis menjadi US$ 25,73 juta atau Rp 421 miliar. Adapun kewajiban Sritex membengkak dari Rp 13,43 triliun pada 2019 menjadi Rp 26,2 triliun pada pertengahan tahun lalu.

Kasus Sritex pailit berawal ketika perusahaan digugat oleh salah satu debiturnya, CV Prima Karya, pada Januari 2022 lalu. Saat itu CV Prima Karya mengajukan gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang dilakukan oleh Sritex. Perusahaan ini sempat selamat dari kebangkrutan setelah ada kesepakatan damai oleh semua kreditur separati.

Diketahui, Sritex memiliki utang Rp 26,2 triliun berasal dari kreditur separatis senilai Rp 716,7 miliar dan tagihan kreditur konkuren Rp 25,3 triliun. Setelah kesepakatan tercapai, Sritex akan merestrukturisasi pokok utang bilateral dan utang sindikasi senilai US$ 344 juta menjadi fasilitas Unsecured Term Loan selama 12 tahun.

Sritex juga akan merestrukturisasi pokok terutang dari utang bilateral dan utang sindikasi senilai US$ 267,2 juta sebagai Secured Working Capital Revolver selama 5 tahun. Sementara itu, pokok utang bilateral dan utang sindikasi akan direstrukturisasi menjadi Secured Term Loan dengan jangka waktu 9 tahun.

Perusahaan tekstil itu sempat mampu bangkit dan menangani perkara utangnya dengan baik. Direktur Utama PT Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto, saat itu mengungkapkan utilitas Sritex berada pada 70-80 persen yang masih bisa mengekspor produk ke sejumlah negara melalui pasar mereka.

Seiring dengan berjalannya waktu, Sritex kembali digugat oleh PT Indo Bharat Rayon karena dianggap tidak penuhi kewajiban pembayaran utang yang sudah disepakati. Pada akhirnya, Pengadilan Niaga Kota Semarang, pada Oktober 2024 mengabulkan permohonan tersebut. Sritex pun dinyatakan pailit atau tidak mampu membayar utang-utangnya.

Sritex lantas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atau MA terkait putusan Pengadilan Niaga Semarang tersebut. Namun, sebagaimana putusannya dibacakan pada pertengahan Desember 2024 lalu, MA menolak kasasi. Putusan ini dengan sendirinya membuat status pailit terhadap raksasa tekstil tersebut sah secara hukum atau inkrah.

“Amar Putusan: Tolak,” bunyi putusan tersebut seperti dikutip dari laman resmi MA, Kamis, 19 Desember 2024.

Terkini, per Sabtu, 1 Maret 2025, Sritex resmi tutup usai diputuskan dalam rapat kreditur kepailitan Sritex pada Jumat, 28 Februari 2025. Lebih dari 8 ribu lebih orang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam penghentian operasi perusahaan itu. Sehingga jumlah total karyawan dan pekerja Sritex Group yang terkena PHK akibat putusan pailit mencapai 10.665 orang.

Sultan Abdurrahman, Ni Made Sukmasari, Myesha Fatina Rachman, Hammam Izzudin, Ananda Ridho Sulistya, Raden Putri, Rachel Farahdiba, Andika Dwi, Rizki Dewi Ayu, Adil Al Hasan, dan Septia Ryanthie berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |