TEMPO.CO, Jakarta - Komunitas Pedagang Kecil Ancol (Kopeka) menggelar aksi protes terhadap PT Impian Jaya Ancol. Mereka mengaku diusir oleh PT Taman Impian Jaya Ancol dan tidak diperkenankan berjualan di wilayah timur pantai Ancol. Awal mula konflik antara pedagang dan PT Taman Impian Jaya Ancol karena para pedagang tak berkenan mengikuti program penataan.
Menurut penuturan salah satu pedagang kaki lima, Wati, area timur pantai Ancol yang sejak dulu jadi wilayah pedagang berjualan sangat ramai pengunjung. Apalagi di musim liburan dan menjelang tahun baru. Para pedagang berharap mereka bisa panen rezeki di momen menjelang pergantian tahun kali ini. Namun, program penataan dari PT Taman Impian Jaya Ancol justru berpotensi memadamkan harapan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Di momen begini pengunjung banyak yang di area timur ini. Ini momen kami bisa mendapatkan rezeki lebih,” kata Wati saat ditemui pantai Ancol, Jakarta Utara, Sabtu, 28 Desember 2024.
Saat ini, program penataan yang diuji coba oleh PT Taman Impian Jaya Ancol baru di area Beach Pool. Wati yakin perlahan area penataan itu akan merembet di sepanjang timur Pantai Ancol. Pedagang yang menolak program, tak lagi diizinkan untuk berjualan di area tersebut. “Pelan-pelan, kita bakal diusir. Kita boleh berjualan, asal di luar pantai timur ini,” kata dia.
Wati mengungkapkan enam bulan lalu program itu telah disampaikan pihak PT Taman Impian Jaya Ancol untuk para pedagang. Mereka juga telah diberi formulir persetujuan untuk menerima program penataan tersebut. Para pedagang diminta mengisi formulir dan menyetujui semua poin yang ditulis oleh PT Taman Impian Jaya Ancol.
“Ada intimidasi kalau kata saya. Formulirnya itu ada kayak pilihan ganda begitu, banyak pertanyaannya. Kita harus setuju. Pas mengisi diawasi,” ucapnya.
Meski begitu, dari 253 pedagang yang tersebar di sepanjang pantai timur Ancol, hanya delapan pedagang yang mau mengisi. Itu pun, kata Wati, karena terpaksa. “Yang delapan itu juga mengeluh karena programnya tidak adil untuk pedagang,” kata dia.
Staf Advokasi Urban Poor Concorcium Nafisa mengungkapkan program penataan itu hanya kamuflase agar PT Taman Impian Jaya Ancol dapat meraup keuntungan dengan mengambil alih wilayah pedagang. Program penataan tersebut, kata Nafisa, bukan memberdayakan pedagang, melainkan mempekerjakan mereka layaknya seperti buruh.
“Mereka memang diberi modal, barang dagangan dimodali Ancol, pedagang hanya datang dan berjaga. Satu booth diisi dua orang. Keuntungan bersih dibagi dua. Kalau hari itu laku Rp 200 ribu. Keuntungan bersih Rp 100 ribu, berarti dibagi dua, masing-masing mendapat upah Rp 50 ribu,” kata Nafisa.
Program itu, ujar dia, jelas tak menguntungkan para pedagang. Karena pedagang yang semula bisa mengelola dagangan dan keuntungan mereka sendiri, kini mereka menjadi pihak yang bekerja dan menerima upah.
Pedagang lain, Sandra, mengatakan mereka hanya ingin pihak Ancol dapat berdiskusi dengan pedagang. Mereka tak melarang adanya program penataan tersebut, tetapi jangan batasi pedagang untuk mengais rezeki di wilayah pantai Ancol.
“Kami sama sekali tidak diajak diskusi. Tidak pernah ditanya maunya apa. Kami mau duduk bersama dengan PT Taman Impian Jaya Ancol itu dan membicarakan ini bersama-sama,” kata dia.
Sementara itu, saat ditanyai soal konflik yang terjadi antara PT Taman Impian Jaya Ancol dan para pedagang kaki lima, Brimob Kelapa Dua Syafi’i yang saat itu berjaga mengungkapkan dia dan keamanan dari Ancol sama sekali tak melarang para pedagang untuk berjualan di area Ancol. Para pedagang hanya dilarang berjualan di area Beach Pool, spot yang menjadi area percobaan program penataan dari PT Taman Impian Jaya Ancol.
“Kita tidak melarang pedagang untuk berjualan sama sekali. Di mana masalahnya? Tidak ada konflik. Kami ada program. Kami menawarkan program untuk mereka agar lebih tertata, tetapi mereka tidak mau,” kata Syafi’i.