Maxim Dukung Status Pengemudi Ojol Menjadi UMKM, Bukan Pekerja Tetap

13 hours ago 15

TEMPO.CO, Jakarta - Government Relation Maxim Indonesia Rafi Assagaf mengatakan perusahaannya mendukung rencana pemerintah memperkuat posisi mitra pengemudi ojek dan taksi online (ojol), salah satunya melalui rencana klasifikasi pengemudi sebagai usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). “Maxim menilai bahwa dengan model kemitraan yang dimasukkan ke dalam kategori UMKM dapat menjadi solusi yang cocok untuk mendukung kesejahteraan dan perlindungan pengemudi transportasi online,” kata Rafi melalui keterangan tertulis, Jumat, 2 Mei 2025.

Pemerintah berencana mengkategorikan ojol sebagai UMKM melalui revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Menteri UMKM Maman Abdurrahman mengatakan masuknya pengemudi ojol sebagai UMKM akan membantu mereka mendapatkan insentif dari pemerintah, seperti subsidi bahan bakar minyak (BBM) hingga berhak mendapatkan liquefied petroleum gas (LPG) ukuran 3 kilogram. Status UMKM juga membuat pengemudi ojol mempunyai payung hukum atas pekerjaan mereka.

Rafi mengatakan model klasifikasi tersebut selaras dengan struktur ekonomi digital Indonesia. Bagi Maxim, konsep ini memungkinkan fleksibilitas, akses pendapatan, menjaga kemandirian, sekaligus membuka ruang bagi perlindungan sosial dan dukungan pembinaan yang lebih terstruktur—termasuk kemungkinan integrasi ke dalam skema UMKM secara fungsional. Pengemudi pun berpeluang bisa mendapatkan beberapa kemudahan dari pemerintah. “Sehingga, beban untuk meningkatkan kesejahteraan pengemudi tidak hanya dilimpahkan seluruhnya kepada aplikator,” kata dia.

Maxim ingin memastikan rencana memasukan ojol sebagai kategori UMKM benar-benar membantu mitra pengemudi dan tetap menghargai aspek fleksibilas dan kemandirian. Karena itu, pendekatan kebijakan yang seimbang, melibatkan masukan dari berbagai stakeholder menjadi penting untuk menjamin kesejahteraan tanpa mengorbankan inovasi, akses, maupun ekosistem transportasi online. “Skema klasifikasi UMKM ini menawarkan alternatif yang inklusif, strategis, dan selaras dengan semangat transformasi digital, namun harus dikelola dengan posisi yang jelas dan koordinasi antar seluruh pemangku kepentingan,” ujarnya.

Di sisi lain, Maxim tidak sepakat dengan rencana Kementerian Ketenagakerjaan yang mempertimbangkan untuk menjadikan mitra pengemudi angkutan online sebagai pekerja tetap. Rafi menyebut gagasanini tidak tepat dan bertentangan dengan sifat hubungan kerja antara perusahaan dan pengemudi. Status karyawan menyiratkan jam kerja minimal 40 jam seminggu, jadwal kerja yang jelas, dan pemenuhan pesanan hanya dari satu aplikator. Ia pun menilai status tersebut justru memberatkan pengemudi yang tidak dapat memenuhi syarat sebagai pekerja tetap. “Ini juga menghilangkan fleksibilitas dan kenyamanan sistem kerja bagi pengemudi,” kata Rafi.

Rafi menambahkan, perubahan status mitra pengemudi menjadi karyawan berpotensi mengurangi daya serap kerja dan menambah beban operasional. Padahal selama ini, menurut dia, skema mitra pengemudi sudah mampu menampung jutaan pencari nafkah. “Pada akhirnya, hal ini membuat banyak orang akan kehilangan mata pencaharian mereka yang juga akan berdampak pada menurunnya perekonomian secara keseluruhan,” ujarnya.

Rafi mengatakan pemerintah perlu mempertimbangkan banyak faktor dalam membuat kebijakan terkait sektor transportasi online. Terlebih, ia mengklaim ride-hailing telah menjadi industri yang mendorong pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia secara siggnifikan. Layanan ini juga memudahkan mobilitas masyarakat.

Oleh karena itu, Rafi berharap pemerintah melaksanakan dialog inklusif dengan aplikator, mitra pengemudi, maupun konsumen. Tujuannya, agar bisa menghasilkan kebijakan sesuai realitas di lapangan. “Selain berpihak pada kesejahteraan pengemudi dan kenyamanan konsumen, perencanaan setiap kebijakan juga harus memperhatikan keberlanjutan ekosistem serta ruang inovasi sektor ini ke depan,” ucapnya.

Sementara itu, Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) mendukung rencana penetapan pengemudi ojol dan kurir menjadi pekerja tetap. Menurut Lily, status pekerja tetap bagi pengemudi ojol telah diatur di bawah payung hukum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam aturan ini dijelaskan  hubungan kerja yang meliputi 3 unsur yaitu pekerjaan, upah dan perintah.

Lily berujar, unsur pekerjaan terpenuhi karena ada di dalam aplikasi pengemudi seperti pekerjaan antarpenumpang, barang dan makanan. Platform yang menetapkan pekerjaan tersebut, bukan pengemudi atau pelanggan.

Unsur upah juga menurutnya terpenuhi dan ada di aplikasi pengemudi yang menetapkan besaran upah dari setiap orderan yang dikerjakan pengemudi. Upah ini telah dihitung platform dengan memasukkan potongan yang besar hingga 50 persen. 

Kemudian, Lily menyebut unsur perintah ditemukan di dalam aplikasi pengemudi. Platform memberi sanksi berupa suspend dan putus mitra bila pengemudi tidak patuh pada perintah dalam menjalankan pekerjaan pengantaran penumpang, barang dan makanan. “Untuk itu, Komisi IX DPR RI tidak perlu ragu lagi dalam memutuskan status pengemudi ojol, taksol dan kurir sebagai pekerja tetap,” kata Ketua SPAI Lily Pujiati dalam keterangan tertulis, dikutip Senin, 28 April 2025.

Adil Al Hasan dan Alif Ilham Fajriadi berkontibusi dalam penulisan artikel ini.
Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |