Menakar Peran Strategis Pesantren

11 hours ago 10

Oleh : Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, kontribusi kiai dan pesantren seringkali luput dari sorotan utama narasi sejarah kita. Padahal, tenaga, pikiran, dan jiwa yang dicurahkan dalam kancah perjuangan fisik maupun pendidikan karakter bangsa telah diberikan dengan ikhlas oleh para ulama dan santri. Singkatnya, mustahil membayangkan kokohnya fondasi Republik ini tanpa andil besar dari pesantren.

Penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional bukan sekadar penghargaan simbolis. Ia adalah pengakuan substantif terhadap ekosistem pesantren yang selama ini menjadi benteng utama Islam moderat—wajah Islam yang toleran, inklusif, dan seimbang, yang menjadi perekat bagi bangsa yang majemuk seperti Indonesia. Lebih dari itu, pesantren adalah produk otentik masyarakat Indonesia.

Sebagaimana diteliti oleh Florian Pohl (2006), pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Lahir dari inisiatif kiai dan tokoh lokal, lembaga ini telah lama menjadi pilar penguatan masyarakat sipil, memperkuat kehidupan sosial, moral, dan spiritual. Azyumardi Azra (2015) mencatat, sejak abad ke-16, pesantren, surau, dan dayah telah berakar kuat dan berkontribusi besar dalam dinamika Islam Indonesia.

Dari rahim pesantren lahir banyak tokoh nasional. H.O.S. Tjokroaminoto, guru bangsa bagi Soekarno, adalah salah satu produk tradisi pesantren. Di sini, pendidikan tidak hanya mencakup ilmu agama, tetapi juga menanamkan kesadaran sosial dan politik yang melahirkan pejuang-pejuang kemerdekaan.

Puncak peran pesantren terukir jelas dalam lembaran sejarah kemerdekaan.

Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 memobilisasi santri untuk mempertahankan kemerdekaan. Laskar Hizbullah dan Sabilillah turun ke medan laga, mengukuhkan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak berdiri kokoh tanpa peran pesantren. Dalam mengisi kemerdekaan, kita mengenal diplomat ulung seperti Mohammad Roem dan Presiden ke-4 Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid, yang keduanya adalah produk pesantren.

Kini, dengan 42.433 pesantren aktif dan sekitar 4,6 juta santri (bahkan bisa mencapai 18 juta jika mencakup siswa di sekolah/madrasah naungan pesantren), potensi pesantren sungguh luar biasa. Sayangnya, banyak dari pesantren ini berkembang secara mandiri dengan dukungan masyarakat, tanpa sentuhan negara yang memadai.

Kehadiran Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren seharusnya menjadi tonggak sejarah. UU ini mengakui peran pesantren dalam pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat, serta menjamin hak pesantren atas dukungan dan fasilitas negara. Namun, Evaluasi UIN Jakarta (2025) mengungkap kenyataan pahit: dari total anggaran pendidikan nasional sebesar Rp660 triliun, pesantren hanya menerima sekitar Rp1 triliun. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2022 justru membatasi dukungan pemerintah daerah sebelum Standar Pelayanan Minimal pendidikan umum terpenuhi, sehingga pesantren hanya mengandalkan dana hibah yang terbatas dan tidak rutin.

Selain itu, dikotomi pendidikan formal dan non-formal seringkali disalahartikan. Kategori "non-formal" untuk sebagian pesantren seolah menjadi pembenaran bagi negara untuk melepaskan tanggung jawab. Padahal, jalur non-formal justru fleksibel dan inklusif, mampu menjangkau masyarakat yang tidak terjangkau pendidikan formal. Karena sifatnya itulah, ia membutuhkan pendampingan negara untuk menjamin kualitas kurikulum, pengajar, sarana-prasarana, dan pengakuan bagi lulusannya.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |