TEMPO.CO, Jakarta - Kakek Presiden Prabowo Subianto Djojohadikusumo, Raden Mas (RM) Margono Djojohadikusumo, dinilai sangat layak diberi gelar pahlawan nasional. Penilaian ini disampaikan oleh Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul. Dia bilang, Rencana penyematan gelar tersebut akan diproses sebagaimana mestinya.
“Kalau tadi ada yang bertanya, apakah kakeknya Pak Prabowo layak diberikan gelar pahlawan, iya, sangat layak beliau, dan akan diproses sebagaimana mestinya,” kata Gus Ipul usai Upacara Ziarah Nasional di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta Selatan, pada Ahad, 10 November 2024.
Lantas siapakah sosok Margono Djojohadikusumo, kakek Presiden Prabowo ini dan apa jasanya?
Adapun Gus Ipul menyampaikan rencana tersebut saat ditanya soal potensi enam nama yang akan diberi gelar pahlawan oleh Prabowo. Ia menyebut bahwa kementeriannya akan mengusulkan 16 nama kepada Dewan Gelar. Nantinya, kata dia, Dewan Gelar akan mempertimbangkannya untuk dipilih enam nama.
Proses pemberian gelar pahlawan nasional, kata Gus Ipul, bagaimanapun masih menunggu kepulangan Prabowo yang melakukan rangkaian kunjungan ke Cina, Amerika Serikat, Peru, Brasil, dan Inggris. Anjangsana kepala negara dimulai pada 8 November dan berakhir pada 23 November 2024.
“Ya nantilah, ya saya ini karena diusulkan memang sebelum waktu saya belum dilantik waktu itu. Tapi prosesnya normal seperti itu. Jadi prosesnya normal,” kata Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini.
Profil Margono Djojohadikusumo
Margono Djojohadikusumo dikenal sebagai tokoh ekonomi yang berperan penting dalam sejarah bank di Tanah Air, baik pada masa penjajahan maupun era awal pemerintahan Republik Indonesia. Bergelar Raden Mas, sosok kelahiran Purbalingga pada 16 Mei 1894 memang berasal dari keluarga bangsawan.
Margono adalah cucu buyut dari Raden Tumenggung Banyakwide, pengikut setia Pangeran Diponegoro, dan anak dari asisten Wedana Banyumas. Latar belakang sebagai orang ningrat membuatnya mendapatkan pendidikan yang lebih baik dibandingkan kebanyakan orang pada masanya.
Pada usia enam tahun, Margono mulai bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) dan lulus pada 1907. Dia kemudian melanjutkan pendidikannya di sekolah calon pegawai negeri Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang dan lulus pada 1911.
Setamatnya dari OSVIA, Margono bekerja sebagai juru tulis di Banyumas dan kemudian di Cilacap. Kemudian dia menikah dengan Siti Katoemi Wirodihardjo pada 1915. Pernikahan mereka dikaruniai lima anak, termasuk ekonom terkenal Soemitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo.
Sementara itu, dua anak Margono lainnya, yakni Kapten Anumerta Subianto Djojohadikusumo dan Taruna Sujono Djojohadikusumo, gugur dalam pertempuran Lengkong melawan pasukan Jepang. Belakangan nama Subianto dan Sujono dipakai Soemitro sebagai asma putra-putranya: Prabowo Subianto dan Hashim Sujono.
Karier Margono di bidang ekonomi bermula ketika diterima sebagai pegawai di Dinas Perkreditan Rakyat. Dia kemudian naik pangkat dan menjabat posisi yang biasanya dipegang oleh orang Belanda di Madiun. Pejabat Hindia Belanda lalu mengirimnya ke Belanda pada 1937 untuk membantu Kementerian Urusan Jajahan. Di sana, ia bertugas mengurus bahan makanan, penyuluhan petani, dan mengawasi rumah gadai.
Sekembalinya dari Negeri Kincir Angin, sebutan Belanda, Margono kemudian diperkerjakan di Departemen Urusan Ekonomi hingga pendudukan Jepang pada 1942. Pada masa pendudukan Jepang, dia bekerja di Shomin Ginko (Bank Rakyat) dan kemudian membantu Mangkunegara VII di Keraton Mangkunegaran.
Selama masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, Margono dikenal karena kemampuannya memanipulasi pasukan Jepang untuk melindungi persediaan bahan makanan rakyat. Setelah proklamasi kemerdekaan, dia diangkat sebagai ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang bertugas memberi nasihat kepada pemerintahan.
Sebagai Ketua DPA, Margono mengusulkan supaya dibentuk sebuah Bank Sentral atau Bank Sirkulasi seperti yang dimaksud dalam UUD 1945. Presiden Pertama RI Sukarno kemudian memberikan mandat kepadanya untuk membuat dan mengerjakan persiapan pembentukan Bank Sentral (Bank Sirkulasi) Negara Indonesia pada 16 September 1945.
Pada 19 September 1945, sidang Dewan Menteri Republik Indonesia memutuskan untuk membentuk sebuah bank milik negara yang berfungsi sebagai “Bank Sirkulasi”. Akhirnya Pada 15 Juli 1946, terbitlan Perpu nomor 2 tahun 1946 tentang pendirian Bank Negara Indonesia (BNI), dan penunjukan Margono sebagai Direktur Utama.
Selain sebagai pencetus dan pendiri BNI, Margono juga merupakan sosok di balik Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. Istilah ini muncul dari usul resolusi yang disampaikannya saat menjadi anggota DPR pada 1950. Ia mendorong agar DPR mengadakan “Hak Angket” atas usaha memperoleh devisa dan cara mempergunakan devisa.
Margono kemudian menjadi ketua angket dengan beranggotakan 13 orang. Kala itu tugasnya adalah menyelidiki untung-rugi mempertahankan devisen-regime berdasarkan Undang-Undang Pengawasan Devisen tahun 1940 dan perubahan-perubahannya.
Namanya telah diabadikan dalam sejumlah bangunan, antara lain Gedung R.M. Margono Djojohadikusumo di Universitas Gajah Mada (UGM) dan nama ruas jalan di Jakarta, Jalan R.M. Margono Djojohadikusumo. Selain itu, kisah kehidupannya juga menjadi inspirasi pembuatan film Merah Putih.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | DANIEL A. FAJRI