TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyatakan nama Presiden ke-2 Soeharto termasuk dalam daftar tokoh yang tengah dibahas untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Kementerian Sosial (Kemensos) akan tetap memproses usulan tersebut sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
“Nama Pak Harto termasuk salah satu yang sedang dibahas oleh tim. Selain beliau, ada juga nama-nama lain, termasuk nama Gus Dur (Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid),” ujar Saifullah Yusuf atau yang akrab disapa Gus Ipul kepada Tempo, Selasa, 16 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan pengusulan Soeharto bukanlah hal baru. “Usulan ini sebenarnya sudah muncul sejak beberapa tahun yang lalu. Dulu tidak bisa diusulkan karena ada TAP MPR, sekarang kan sudah dicabut TAP MPR-nya,” kata Saifullah.
Meski wacana ini menuai penolakan dari sejumlah pihak, termasuk aktivis KontraS dan keluarga korban pelanggaran HAM masa Orde Baru, Kemensos mengatakan pihaknya akan tetap bekerja secara normatif. “Tugas kami menjalankan mekanisme yang ada. Kalau tidak ada aturan yang dilanggar, ya kami harus menindaklanjutinya,” kata Saifullah.
Lebih lanjut, Saifullah mengatakan pengusulan gelar pahlawan nasional tidak bisa dilakukan oleh individu secara langsung. “Enggak bisa hanya satu orang. Siapa pun boleh mengusulkan, termasuk kamu juga boleh, asal memenuhi prosedur,” ujarnya.
Saifullah memaparkan bahwa mekanisme pengusulan gelar pahlawan harus dimulai dari daerah kelahiran tokoh yang akan diusulkan untuk mendapat gelar pahlawan. “Itu nanti dibahas dulu di tingkat kabupaten, tempat calon penerima gelar pahlawan itu dilahirkan. Di situ akan dilakukan serangkaian kajian dan seminar,” katanya.
Setelah itu, usulan dibawa ke tingkat provinsi dan dibahas oleh tim yang terdiri dari dinas sosial, biro hukum, dan pihak lain. Jika memenuhi syarat, Saifullah mengatakan dokumen dikirim ke Kemensos. Di tingkat pusat, Kemensos membentuk tim penilai yang melibatkan sejarawan, akademisi, dan tokoh masyarakat.
Hasil penilaian tim Kemensos akan diteruskan ke Dewan Gelar, dan dari sana diserahkan ke Presiden untuk diputuskan.
Apa syarat mendapat Gelar Pahlawan Nasional?
Menurut Saifullah, syarat utama seseorang bisa mendapat gelar pahlawan nasional adalah memiliki kontribusi nyata bagi bangsa dan negara dalam bidangnya masing-masing. “Kontribusinya juga harus memberikan dampak luas di masyarakat,” ujarnya. “Biasanya, kalau sudah sampai diusulkan dari daerah, artinya tokoh tersebut punya rekam jejak yang dianggap layak.”
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, khususnya dalam Pasal 25 dan Pasal 26, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar pahlawan nasional:
Syarat Umum:
- Warga Negara Indonesia (WNI) atau seseorang yang berjuang di wilayah yang kini menjadi bagian dari NKRI.
- Memiliki integritas moral yang tinggi dan dapat menjadi teladan.
- Berjasa besar bagi bangsa dan negara.
- Memiliki rekam jejak yang baik.
- Setia kepada negara serta tidak pernah berkhianat.
- Tidak pernah dihukum penjara berdasarkan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dengan ancaman minimal lima tahun penjara.
Syarat Khusus:
- Pernah memimpin atau terlibat dalam perjuangan bersenjata, politik, atau bidang lainnya untuk mencapai dan mempertahankan kemerdekaan serta mewujudkan persatuan bangsa.
- Tidak pernah menyerah kepada musuh dalam perjuangannya.
- Mengabdikan hidupnya untuk bangsa di luar tugas resmi yang diemban.
- Menciptakan gagasan besar yang mendukung pembangunan bangsa dan negara.
- Menghasilkan karya besar yang memberi manfaat bagi masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
- Memiliki semangat kebangsaan yang tinggi serta perjuangan yang berdampak luas dan berskala nasional.
Itulah prosedur dan kriteria dalam pengusulan gelar pahlawan nasional yang harus dipenuhi oleh calon yang diajukan.
Menurut Kontras, wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto, sebagai bentuk pelecehan terhadap para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi selama rezim Orde Baru.
Anggota Divisi Pemantauan Impunitas KontraS Jessenia Destarini menyebut usulan tersebut sangat bermasalah karena sama saja dengan memutihkan sejarah kelam dan menghapus jejak kejahatan yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru.
“Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto merupakan sebuah pelecehan terhadap martabat para korban dan melukai perasaan mereka,” ujar Jessenia saat dihubungi, Sabtu, 12 April 2025. “Lebih dari dua dekade pasca reformasi, korban masih harus terus menuntut keadilan dan tak kunjung mendapatkannya, namun individu yang paling bertanggung jawab atas kejahatan tersebut justru diwacanakan untuk diberi gelar pahlawan.”
Menurut KontraS, masa pemerintahan Soeharto ditandai dengan pelanggaran HAM berat, represi terhadap kebebasan sipil, perampasan lahan, eksploitasi sumber daya alam, militerisasi kehidupan warga, serta maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Semua itu, kata Jessenia, seharusnya menjadi alasan kuat untuk menolak usulan tersebut.
Ia menekankan, pemberian gelar itu juga bertentangan dengan semangat Reformasi 1998 yang menuntut perubahan menuju pemerintahan yang demokratis dan menghargai hak asasi manusia. “Reformasi bukan hanya pergantian presiden, tetapi juga momentum perubahan struktural demi menjamin perlindungan HAM dan pengakuan atas kejahatan yang dilakukan Orde Baru,” katanya.
KontraS juga menilai pemberian gelar tersebut sebagai bentuk impunitas yang berbahaya. “Pemerintah seakan memaklumi bahwa Soeharto bertanggung jawab atas berbagai kejahatan HAM dan penyalahgunaan kekuasaan. Ini membangun pola pikir pemakluman terhadap kejahatan negara,” ujar Jessenia.
Fani Ramadhani, Amelia Rahima Sari dan Angelina Tiara Puspitalova berkontribusi dalam penulisan artikel ini.