PB XIII Dimakamkan di Makam Imogiri, Ini Sejarah Singkatnya

7 hours ago 14
makam immogiriTangga menuju makam Imogiri | Wikipedia

BANTUL, JOGLOSEMARNEWS.COM –  Kabar duka datang dari Surakarta. Sinuhun Paku Buwono XIII, raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat wafat dan akan dimakamkan di Astana Pajimatan Imogiri, Kabupaten Bantul, DIY.

Sejak berabad-abad silam, Imogiri memang telah menjadi tempat para raja Mataram dan keturunannya dimakamkan.  Tempat peristirahatan raja-raja Mataram Islam itu letaknya sekitar 12 kilometer di sebelah selatan Kota Yogyakarta.

Seperti dikutip dalam Berkala Arkeologi 2021, Savitri menjelaskan bahwa sejak pertama kali digagas pada awal abad ke-17, Imogiri selain sebagai makam raja-raja, sekaligus  menjadi simbol legitimasi politik, ruang ritual yang hidup, dan titik temu warisan agama-budaya Jawa yang berlapis.

Sejarah resmi kompleks itu dimulai pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja Mataram yang berkuasa pada awal abad ke-17, yang memerintahkan pembangunan pemakaman kerajaan pada sekitar 1632.

Dalam naskah rekomendasi penetapan makam Imogiri sebagai cagar budaya disebutkan, kompleks tersebut diberi nama formal Astana Pajimatan Himagiri. Namun masyarakat akrab menyebutnya Imogiri atau Pajimatan.  Pendirian Imogiri merupakan bagian dari upaya Sultan Agung memusatkan identitas politik dan religius Mataram pada satu tempat yang sakral.

Pembangunan dipimpin oleh tokoh arsitek lokal yang disebut Kiai Tumenggung Citrokusumo, yang merancang kompleks dengan kombinasi gaya tradisi Jawa-Hindu dan bentuk Islam Jawa yang khas pada abad ke-17. Ciri itu diperlihatkan melalui penggunaan bata merah pada bagian atas bangunan dan susunan teras yang ritualistis.

Dalam praktiknya, setelah pecahnya kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, Imogiri tetap menjadi tempat pemakaman bagi trah penguasa kedua dinasti tersebut. Masing-masing memiliki kompleks dan jalur akses ritual tertentu di dalam area yang sama.

Secara visual Imogiri menonjol dengan tangga berundak yang menanjak, gapura, dan bangunan berplafon rendah yang memisahkan zona-zona suci. Elemen bata merah, struktur teras, dan tata ruang yang hierarkis mencerminkan warisan Jawa pra-Islam yang berpadu dengan adat pemakaman Islam, sehingga menghasilkan bentuk arsitektur hibrida yang khas Jawa-Islam abad ke-17. Di kawasan kompleks juga terdapat mesjid kecil dan fasilitas ritual yang menjadi pelengkap fungsi keagamaan tempat itu (Kraton Jogja 2019). [*] Disarikan dari berbagai sumber

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |