Perang Topat, Perang yang Teduh dan Mendamaikan di Pulau Lombok

5 hours ago 10
Tradisi Perang Topat di Pulau Lombok | Instagram

JOGLOSEMARNEWS.COM Menjelang senja di Desa Lingsar, Lombok Barat, ratusan orang berkumpul di pelataran Pura Lingsar. Di tangan mereka tergenggam ketupat. Tapi tunggu dulu, ketupat itu bukannya untuk disantap, melainkan dilempar.

Bagaimana mungkin ketupat dilempar-lempar? Itulah yang namanya tradisi Perang Topat.  Sebuah tradisi yang setiap tahun mempertemukan dua komunitas besar: umat Hindu Bali dan umat Islam Sasak. Sebuah “perang” yang tak menumpahkan darah, melainkan doa dan tawa.

Tradisi Perang Topat merupakan  puncak dari upacara Pujawali, hari suci di Pura Lingsar yang diyakini sebagai tempat bertemunya dua keyakinan dalam satu semangat — rasa syukur atas limpahan hasil bumi. Seperti dicatat oleh Harnish (2021), Perang Topat adalah bentuk negosiasi kultural yang sudah berabad-abad mengikat hubungan antarumat di Lombok, menciptakan ruang bersama yang melampaui batas agama dan etnis.

Akar dan Sejarah

Konon, tradisi ini berawal dari legenda tentang Dewa Rinjani dan Datu Nyale, dua sosok yang dihormati baik oleh penganut Hindu maupun masyarakat Sasak. Masyarakat kemudian menggelar upacara syukur bersama di Pura Lingsar sebagai bentuk penghormatan kepada penguasa alam dan pemberi kesuburan. Dari sinilah ritual Perang Topat lahir, dan terus diwariskan lintas generasi (Suprapto, 2017).

Penelitian Masniati (2018) menunjukkan bahwa perang ketupat ini erat kaitannya dengan sistem pertanian masyarakat Lombok. Ketupat menjadi simbol kemakmuran dan hasil panen. Itulah sebabnya, setiap butir ketupat yang jatuh ke tanah dipercaya membawa keberkahan bagi sawah dan ladang.

Prosesi dan Makna

Ritual dimulai dengan persembahan di dua titik: Pura Gaduh bagi umat Hindu dan Kemaliq Lingsar bagi masyarakat Islam Wetu Telu. Setelah doa bersama, para peserta berbaur tanpa sekat. Ketupat dilempar bukan dengan amarah, tetapi dengan tawa. Tak ada pemenang, karena setiap orang yang terkena lemparan dianggap mendapat berkah.

Bagi warga Sasak, ketupat sisa perang biasanya dibawa pulang untuk disebar di sawah sebagai tanda kesuburan. Sementara bagi umat Hindu, partisipasi mereka adalah bentuk penghormatan terhadap siklus alam dan harmoni antar-manusia. Dalam studi etnografi Suadnya dkk. (2018), tradisi tersebut  dipahami sebagai ritual agraris yang berfungsi sebagai perekat sosial, menegaskan bahwa keberagaman bukanlah penghalang, melainkan kekuatan.

Simbol Toleransi yang Hidup

Di tengah dunia yang kian mudah terpecah karena perbedaan keyakinan, Perang Topat tampil sebagai oase. Ritual ini menjadi panggung nyata bagi semangat moderasi beragama yang tumbuh dari akar budaya, bukan dari kebijakan formal.

Penelitian Suadnya dkk. (2023) dalam jurnal Migration Letters bahkan menyebut Perang Topat sebagai “model moderasi berbasis kearifan lokal” karena mampu menjaga kohesi sosial antara umat Hindu dan Muslim selama berabad-abad tanpa konflik terbuka. Harnish (2021) menambahkan, di balik suasana riang itu tersimpan mekanisme sosial yang canggih—sebuah cara komunitas Lingsar merawat perdamaian melalui ritual dan simbol.

Antara Ritual dan Wisata

Kini, setiap kali Perang Topat digelar, ribuan wisatawan berdatangan. Kamera berjejer di pelataran pura, drone terbang di udara. Namun bagi warga, makna ritual tak luntur. Mereka tetap memulai dengan doa dan penghormatan kepada leluhur. Muliadi, Karim, dan Nasri (2024) mencatat bahwa meskipun festival tersebut kini menjadi atraksi wisata budaya, masyarakat setempat berusaha menjaga keseimbangannya agar sakralitas upacara tidak tergeser oleh kepentingan ekonomi.

Di sisi lain, sejumlah peneliti seperti Jayadi (2018) melihat potensi besar Perang Topat sebagai bahan pendidikan multikultural di sekolah-sekolah Lombok. Nilai gotong royong, saling menghormati, dan rasa syukur terhadap alam bisa diajarkan lewat kisah tentang “perang tanpa dendam” ini.

Bagi masyarakat Lingsar, Perang Topat bukan sekadar warisan budaya—ia adalah cara hidup. Dalam ketupat yang melayang, mereka melihat persaudaraan. Dalam tawa yang pecah di tengah hujan janur, mereka mengenali wajah damai Indonesia. Perang Topat, sebuah perang yang membuat sejuk dan damai.  [*] Disarikan dari berbagai sumber

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |