Peserta Women's March Jakarta 2024 Suarakan Isu Pekerja dan Ekonomi, dari Tolak Tapera hingga PPN 12 Persen

1 month ago 42

Women's March Jakarta 2024 yang diadakan pada hari ini menyuarakan isu-isu pekerja dan ekonomi, seperti menolak kenaikan PPN hingga program Tapera.

8 Desember 2024 | 12.04 WIB

Image of Tempo

TEMPO.CO, Jakarta - Massa aksi Women’s March Jakarta 2024 untuk menuntut hak-hak perempuan dilakukan di tengah guyuran hujan di pagi hari pada Sabtu, 7 Desember 2024. Para peserta yang berjalan sekitar 1,6 kilometer dari kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) ke Silang Monas Barat Daya, Jakarta Pusat, menyuarakan sejumlah isu pekerja dan ekonomi, mulai dari penolakan atas program Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera hingga PPN 12 persen.

Dari atas mobil komando, Ketua Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi) Iweng Karsiwen menyampaikan kekhawatiran tentang kondisi buruh migran Indonesia saat ini. “Sembilan juta buruh migran Indonesia terpaksa ke luar negeri karena tidak adanya lapangan pekerjaan dan tidak mampunya negara menjamin kesejahteraan rakyatnya,” kata dia.
 
Selain ihwal buruh migran, Iweng juga mengatakan pekerja rumah tangga di Indonesia sampai saat ini belum mendapatkan perlindungan dari negara. 
 
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), yang menjamin pelindungan hukum bagi pekerja rumah tangga, tak kunjung disahkan setelah dua dekade meski sempat masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
 
Peserta aksi lainnya mengangkat isu diskriminasi dan pelecehan terhadap perempuan di ruang kerja. Mereka berkata perempuan masih mengalami gender pay gap atau dibayar lebih rendah daripada kolega laki-laki. Di samping itu, perempuan juga kerap mengalami pelecehan saat bekerja. Salah satu peserta aksi membawa poster bertuliskan “Kerja 15 jam lebih per hari, tapi masih harus menerima pelecehan seksual di lokasi syuting.”
 
Seorang peserta yang berorasi di atas mobil komando memprotes gaji pekerja yang “tidak seberapa” akan digerus pengeluaran untuk PPN 12 persen hingga program Tapera yang akan mulai berlaku pada 2027. Tak hanya soal upah, ia juga mengkritik implementasi UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang dinilai belum maksimal. 
 
“Bukan cuma uang, ruang aman kita dirampas. Sudah ada UU TPKS, tapi di kantor-kantor banyak yang belum bentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual,” ujarnya menggunakan pengeras suara. Mereka juga menolak program Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera yang akan diberlakukan tahun depan.

Penolakan PPN 12 Persen Masih Marak

Rahma Nur Aini, 25 tahun, berdiri di sebelah temannya yang mengangkat poster bertuliskan “PPN 12% adalah Maut”. Ia sendiri membawa poster bertuliskan “Dihujani Fakta Kenaikan PPN 12%”.
 
Ia dan teman-temannya berharap PPN 12 persen sama sekali dibatalkan, karena bakal berdampak pada seluruh lapisan masyarakat. “Kebijakan ini membuat ketimpangan dan kemiskinan struktural semakin tajam,” kata dia.
 
Penolakan kenaikan PPN jadi 12 persen masih marak disuarakan oleh masyarakat, meski pemerintah telah mengubah ketentuannya. Presiden Prabowo Subianto telah memastikan bahwa kenaikan PPN akan dilaksanakan sesuai undang-undang yaitu mulai Januari 2025. Namun, kenaikan ini akan berlaku dengan pengecualian.
 
“Selektif hanya untuk barang mewah, untuk rakyat yang lain kita tetap lindungi,” kata Prabowo saat memberikan keterangan di kompleks Istana Kepresidenan pada Jumat sore, 6 Desember 2024.
 
Keputusan tersebut diambil pemerintah setelah rencana kenaikan PPN 12 persen menuai protes meluas dari masyarakat, pelaku usaha, dan para pakar ekonomi.
 
Ekonom senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, berkata iklim perpajakan Indonesia akan semakin rumit dengan kebijakan ini. Ia mengusulkan kenaikan PPN menjadi 12 persen ditunda dan diterapkan saat daya beli masyarakat mulai membaik. “Mungkin tengah tahun 2025, atau awal tahun 2026,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo pada 6 Desember 2024.
 
Sependapat, Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai rencana pengenaan tarif PPN secara selektif berpotensi menimbulkan kebingungan. Menurut dia, ini pertama kalinya dalam sejarah Indonesia akan mengalami kebijakan PPN berbeda tarif. 
 
Bhima berpandangan sebaiknya pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menghapus Pasal 7 di UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pasal itu mengatur kenaikan PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025. “Itu solusi paling baik,” kata dia, seperti dikutip dari Antara.
 
Daniel A. Fajri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Nabiila Azzahra

Aguan Bicara

Aguan Bicara

PODCAST REKOMENDASI TEMPO

  • Podcast Terkait
  • Podcast Terbaru

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |