TEMPO.CO, Jakarta - Kasus polisi tembak siswa SMK Negeri 4 Semarang, Gamma Rizkynata Oktafandy, oleh Ajun Inspektur Dua (Aipda) Robig Zaenudin terus menjadi sorotan. Komnas Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan sejumlah kejanggalan dalam penanganan kasus ini.
Gamma, 17 tahun, ditembak pada 24 November 2024 sekitar pukul 00.20 WIB. Ia meninggal beberapa jam kemudian di RSUP Dr. Kariadi, Semarang, akibat peluru yang bersarang di perutnya. Hingga kini, Robig belum ditetapkan sebagai tersangka meski berbagai bukti telah dikantongi penyidik.
Berbeda Versi, Tawuran atau Perselisihan Jalanan?
Kepolisian semula menyebut insiden itu terjadi karena tawuran antara geng motor Tanggul Pojok dan Seroja. Namun, KPAI menyatakan kedua nama itu hanya merujuk pada nama kampung di Semarang, bukan geng motor. "Tidak ada tawuran pada malam kejadian, hanya kejar-kejaran sepeda motor," ujar Komisioner KPAI Diyah Puspitarini.
Komnas HAM mengungkapkan, penembakan dilakukan tanpa tembakan peringatan terlebih dahulu, dalam jarak kurang dari satu kilometer. “Tidak ada bukti yang menunjukkan Gamma atau remaja lain menyerang Robig,” kata Koordinator Subkomisi Pemantauan Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing.
Dugaan Pelanggaran HAM
Komnas HAM menyebut tindakan Robig melanggar hak hidup, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Selain itu, hak atas perlindungan anak juga dilanggar karena korban masih di bawah umur. "Polisi dilarang menggunakan senjata api terhadap anak-anak," tegas Uli.
Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, menuding ada upaya kepolisian untuk mengaburkan fakta. Ia menyebut narasi awal bahwa Gamma terlibat tawuran adalah bagian dari modus menghapus jejak kejahatan. "Ini adalah pelanggaran serius yang masuk dalam kategori obstruction of justice," kata Isnur.
Desakan Transparansi
Pengamat kepolisian Bambang Rukminto menilai bukti sudah cukup untuk menetapkan Robig sebagai tersangka. "Autopsi, hasil forensik, uji balistik, dan senjata sudah ada," ujarnya. Namun, hingga kini penyidik berdalih masih mengumpulkan keterangan ahli dan bukti tambahan.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitah Sari, menyoroti lemahnya akuntabilitas di tubuh Polri. “Ada kecenderungan melindungi sesama anggota, sehingga penyidikan kerap tidak obyektif dan transparan mengingat hubungan kolegial serta hierarki internal yang ada di institusi kepolisian,” ujarnya.
Lemahnya akuntabilitas masih menjadi masalah utama di institusi kepolisian. Karena itu, tidak mengherankan muncul upaya untuk menutupi kasus semacam ini. “Dalam peristiwa Kanjuruhan saja, tidak ada pelaku lapangan yang dihukum,” katanya. “Supaya kejadian seperti ini tidak terus berulang memang harus ada perubahan secara sistemik.”
Polda Jawa Tengah menyatakan sidang etik terhadap Robig akan digelar dalam waktu dekat. Namun, publik menuntut penanganan lebih cepat dan transparan untuk menghindari hilangnya kepercayaan terhadap institusi kepolisian.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya reformasi di tubuh Polri agar penegakan hukum berjalan adil dan tidak tebang pilih.
Ade Ridwan Yandwiputra, Intan Setiawanty, Sukma Kanthi Nurani, dan Evana Trikarinaputri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Aipda RZ Belum Jadi Tersangka Kasus Polisi Tembak Siswa SMK di Semarang, Ini Kata Polda Jawa Tengah