TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah akan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pada Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa tarif PPN sebesar 11 persen mulai berlaku pada 1 April 2022, dan PPN 12 persen berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025.
"Sudah ada UU-nya. Kami perlu menyiapkan agar itu (PPN 12 persen) bisa dijalankan tapi dengan penjelasan yang baik," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, mengatakan penerapan kebijakan ini bisa menambah pemasukan negara. “Potensi menambah penerimaan negara sekitar Rp 80 triliun. Tapi daya beli yang merosot, akan memberikan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi,” kata Ajib kepada Tempo, Jumat 15 November 2024.Dengan menaikkan tarif PPN tanggal 1 Januari 2025, ujar Ajib, pemerintah perlu memitigasi pelemahan daya beli masyarakat. Karena barang beredar di masyarakat akan mengalami kenaikan harga. Permintaan atau demand produk akan mengalami kontraksi. Sedangkan sisi pasokan juga akan melemah, karena kenaikan harga barang dan jasa tak terhindarkan.
Pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan pemerintah harus memastikan penerimaan negara tambahan dari kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen harus kembali disalurkan ke masyarakat.
"Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan menghasilkan tambahan penerimaan yang besar. Pemerintah perlu memastikan jika tambahan penerimaan tersebut disalurkan ke masyarakat kelas menengah ke bawah, baik dalam bentuk fasilitas publik maupun jaminan sosial," kata Fajry saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.
Menurutnya, pemerintah harus memberikan keuntungan yang lebih banyak ke kelompok masyarakat menengah ke bawah usai mengimplementasikan kebijakan PPN 12 persen.
Sebagai contoh, lanjut dia, bila kenaikan pajak yang dibayarkan masyarakat menengah-bawah ke pemerintah sebesar Rp200, maka pemerintah perlu mengembalikan ke kelompok ini dengan manfaat senilai Rp250.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengusulkan pemberian subsidi tingkat suku bunga kredit di bank, beasiswa sekolah, hingga insentif usaha guna mengurangi efek tekanan masyarakat dari kebijakan PPN 12 persen.
Dia berpendapat insentif untuk mulai bisnis penting dilakukan guna menghindari risiko perekonomian yang terkontraksi.
Sementara, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengusulkan penebalan bansos dan insentif sebagai solusi meredam tekanan dari kenaikan tarif PPN.
Kebijakan bansos dinilai dapat membantu mengimbangi penurunan daya beli masyarakat akibat kenaikan harga barang dan jasa.
Sementara, pemberian insentif pajak atau pengurangan pajak untuk usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM) bisa membantu pelaku usaha dalam menyesuaikan diri dengan peningkatan beban pajak. Dia meyakini insentif seperti ini dapat mendukung daya saing UMKM dan mencegah penurunan produktivitas akibat biaya tambahan.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani pemberlakuan PPN 12 persen salah satu pertimbangannya adalah APBN yang harus dijaga kesehatannya, dan pada saat yang sama, juga mampu berfungsi merespons berbagai krisis.
Namun, dalam implementasinya nanti, Kementerian Keuangan akan berhati-hati dan berupaya memberikan penjelasan yang baik kepada masyarakat.
Kebijakan Pro-Daya Beli MasyarakatEkonom Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda meminta pemerintah membuat kebijakan yang pro-daya beli masyarakat sebagai konsekuensi dari PPN 12 persen.
“Pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang pro terhadap daya beli, bukan malah menekan daya beli masyarakat,” kata Huda saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, menaikkan tarif PPN pada tahun depan merupakan keputusan yang kurang bijak mengingat daya beli masyarakat masih cukup terpukul.
Menerapkan PPN 12 persen berpotensi mengurangi pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposible income) masyarakat. Hal ini dinilai kontradiktif dengan pertumbuhan ekonomi.
“Demikian juga dengan daya beli masyarakat yang akan tergerus. Dampak paling buruknya adalah pengangguran akan meningkat. Kesejahteraan masyarakat akan sangat terbatas,” katanya..
Huda mengatakan banyak negara Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang menerapkan tarif PPN lebih tinggi dibanding Indonesia. Namun, juga ada negara yang tarif PPN-nya lebih rendah, seperti Kanada yang hanya 5 persen.
“Jadi, tidak harus melihat yang lebih tinggi tarif PPN-nya. Ada beberapa negara mempunyai tarif lebih rendah,” ujarnya.
Dia berharap pemerintah dapat membatalkan kebijakan PPN 12 persen pada tahun depan. Seharusnya, pemerintah memberikan insentif berupa subsidi konsumsi bagi kelas menengah.
“Jika diterapkan (kenaikan tarif PPN) akan meningkatkan kerentanan konsumsi rumah tangga. Dalam jangka pendek bisa mengganggu perekonomian secara makro,” tutur Huda.
Pilihan Editor Surplus Neraca Perdagangan Menopang Ketahanan Eksternal Indonesia