TEMPO.CO, Jakarta - Situasi politik di Korea Selatan masih gunjang-ganjing parah setelah Presiden Yoon Suk Yeol resmi menjadi subjek investigasi kriminal terkait tuduhan percobaan kudeta.
Meski hanya berlangsung enam jam, keputusan kontroversial Yoon untuk menerapkan darurat militer pada pekan lalu telah memicu gelombang kritik, protes besar-besaran, dan investigasi hukum yang mendalam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Latar Belakang Tuduhan
Yoon Suk Yeol menghadapi tuduhan serius yang meliputi pemberontakan dan pengkhianatan terhadap negara. Kasus ini bermula pada Selasa, 3 Desember 2024, ketika Yoon secara mengejutkan memberi kekuasaan darurat kepada militer untuk mengatasi apa yang disebutnya sebagai kekuatan anti negara dan lawan politik yang menghambat. Namun, perintah tersebut segera dibatalkan setelah parlemen secara bulat menolaknya.
Kejadian ini menjadi krisis politik terbesar di Korea Selatan dalam beberapa dekade terakhir yang mengguncang reputasi negara tersebut sebagai salah satu demokrasi paling stabil di Asia. Saat ini, Yoon telah dikenakan larangan bepergian dan statusnya sebagai tersangka telah dikonfirmasi oleh kantor kejaksaan.
Proses Investigasi
Investigasi terhadap Yoon dipimpin oleh Kantor Investigasi Korupsi untuk Pejabat Tinggi (CIO) serta tim khusus dari kepolisian dan kejaksaan. Polisi telah melakukan penggeledahan di kantor kepresidenan, meski tim keamanan di sana belum mengizinkan masuknya para penyidik.
Mantan Menteri Pertahanan Kim Yong Hyun, yang disebut-sebut sebagai arsitek utama deklarasi darurat militer, telah ditangkap pada Minggu, 8 Desember. Dikutip dari Independent, ia menghadapi tuduhan yang sama, yakni pengkhianatan, yang di Korea Selatan dapat dihukum mati atau penjara seumur hidup.
Selain Kim, beberapa pejabat tinggi lainnya juga ditangkap, termasuk kepala Kepolisian Nasional dan kepala Kepolisian Metropolitan Seoul. Mereka diduga berperan dalam upaya menghalangi anggota parlemen untuk masuk ke gedung parlemen selama deklarasi darurat militer berlangsung.
Tuduhan dan Bukti
Yoon diduga memerintahkan pasukan militer untuk membongkar pintu dan menyeret keluar anggota parlemen agar jumlah yang hadir tidak mencukupi untuk membatalkan deklarasi tersebut. Tuduhan ini diperkuat oleh kesaksian dari Komandan Komando Operasi Khusus Angkatan Darat, Kwak Jong Keun, yang menyatakan bahwa ia secara langsung menerima perintah dari Yoon namun memilih untuk tidak menaatinya.
Selain itu, mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Nasional, Hong Jang Won, juga memberikan kesaksian bahwa Yoon memintanya untuk menangkap semua lawan politik tak lama setelah deklarasi darurat militer diumumkan.
Respons Publik dan Parlemen
Reaksi keras datang dari berbagai pihak, termasuk oposisi, masyarakat sipil, dan bahkan beberapa anggota partai Yoon sendiri. Protes besar-besaran terus berlangsung di depan parlemen, dengan ribuan warga menyerukan pengunduran diri Yoon dan pembubaran partai yang berkuasa, People Power Party (PPP).
Pemimpin oposisi dari Partai Demokrat, Lee Jae Myung, menyebut langkah Yoon sebagai kudeta yang melanggar konstitusi dan meminta pemakzulannya segera dilakukan. Sementara itu, Ketua Majelis Nasional Woo Won Shik menuduh perdana menteri dan partai yang berkuasa melakukan pelanggaran hukum dengan mencoba mengambil alih wewenang presiden tanpa prosedur yang sah.
Konsekuensi Hukum
Di bawah konstitusi Korea Selatan, presiden tidak dapat diproses secara hukum selama masa jabatannya, kecuali untuk kasus pengkhianatan. Hal ini membuat status Yoon sebagai presiden yang menjadi tersangka, yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah negara tersebut.
Jika terbukti bersalah, Yoon menghadapi ancaman hukuman yang sangat berat, termasuk hukuman mati. Proses hukum terhadap Yoon juga berpotensi memperburuk situasi politik yang sudah tidak stabil, karena oposisi berencana untuk mengajukan kembali pemakzulan pada Sabtu mendatang setelah upaya sebelumnya gagal.