Ragam Pandangan Politikus DPR atas Usulan dalam Revisi UU TNI

7 hours ago 8

KOMISI I DPR sedang membahas revisi Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI. Komisi yang membidangi pertahanan, luar negeri, dan informatika itu telah menggelar rapat dengar pendapat untuk mendengar masukan pemerintah, TNI, pakar, dan lembaga swadaya masyarakat terhadap isu-isu mengenai revisi UU TNI.

Dalam pembahasan RUU TNI, sejumlah isu yang diusulkan antara lain tentang pengaturan baru tugas TNI di bidang non-pertahanan, batas usia pensiun prajurit, serta penempatan TNI di jabatan sipil. Usulan tersebut mendapat sorotan publik.

Dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR pada Senin, 10 Maret lalu, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengusulkan penambahan lima kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI. Dia menjelaskan, bagi prajurit yang menempati pos jabatan sipil di 15 kementerian/lembaga terkait, maka prajurit itu tidak mesti mengundurkan diri dari TNI. 

Penambahan 5 jabatan sipil yang bisa dijabat prajurit TNI adalah Kelautan dan Perikanan, BNPB, BNPT, Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung. Dalam UU TNI yang berlaku saat ini, Pasal 47 ayat (2) menyebutkan hanya 10 instansi yang dapat diisi oleh prajurit TNI.

Revisi UU TNI mendapat penentangan keras dari masyarakat. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, misalnya, menilai RUU TNI berisiko menghidupkan kembali dwifungsi militer seperti di era Orde Baru. 

Berikut pandangan anggota Komisi I DPR atas usulan yang muncul dalam pembahasan revisi UU TNI.

Utut Adianto: Revisi UU TNI Tidak akan Kikis Supremasi Sipil

Ketua Komisi I DPR Utut Adianto meyakini revisi UU TNI tidak akan berdampak pada upaya menggerus demokrasi. Dia menuturkan Panglima TNI menyatakan dalam rapat kerja bersama komisinya bahwa TNI berkomitmen menjaga supremasi sipil dalam revisi UU TNI itu. “Supremasi sipil tetap menjadi pilar utama dalam negara demokratis,” kata Utut di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 13 Maret 2025. 

Mengenai keresahan kelompok masyarakat sipil terhadap revisi UU TNI bakal menghidupkan kembali dwifungsi militer, Utut mengatakan hal itu tidak akan terjadi. Menurut dia, situasi dan kondisi saat ini berbeda jauh dengan situasi di era pemerintahan Orde Baru. “Hemat saya, semua bisa dipagari oleh undang-undang,” ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP itu.

Utut menambahkan revisi UU TNI tidak akan menjadikan Indonesia sebagai negara militer. “Jadi tetap, kita tidak jadi negara militer seperti yang kebanyakan ditakuti oleh orang,” ujarnya saat memimpin rapat kerja bersama Panglima TNI dan kepala staf angkatan dari tiga matra di ruang rapat Komisi I DPR, Jakarta, Kamis.

Dia mengapresiasi sikap TNI yang memprioritaskan supremasi sipil. Dia menilai prinsip itu penting diterapkan dalam negara demokratis seperti Indonesia.

Frederik Kalalembang: Usulan Batas Masa Pensiun Prajurit Perlu Dipertimbangkan Lagi

Anggota Komisi I DPR Frederik Kalalembang menyoroti ketentuan batas usia pensiun prajurit yang diusulkan dalam draf Daftar Inventaris Masalah (DIM) Rancangan UU TNI. Dia menilai usulan batas masa pensiun prajurit hingga usia 65 tahun harus kembali dipertimbangkan.

Alasannya, potensi rongrongan bagi panglima dan kepala staf cukup besar terjadi dalam usulan ini. “Setahu saya, jabatan fungsional itu yang mempunyai keahlian khusus. Jadi tolong dipertimbangkan, bisa merepotkan panglima dan kepala staf kalau dimasukkan,” kata Frederik di komplek parlemen, Kamis.

Dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU TNI yang diperoleh Tempo, Pasal 53 ayat (3) mengatur batas masa pensiun prajurit TNI. Prajurit yang menduduki jabatan fungsional dapat melaksanakan dinas keprajuritan sampai maksima usia 65 tahun.

Namun, kata Frederick, usulan tersebut mesti dipertimbangkan ulang karena, di instansi TNI hingga Polri, jabatan fungsional hanya menjadi tempat penampungan. “Kasihan nanti panglima dan kepala staf. Karena ini jabatan yang artinya di struktural saja mungkin tidak tertampung, apalagi di jabatan fungsional,” ujar politikus Partai Demokrat itu.

Amelia Anggraini: TNI Duduki Jabatan Sipil Diatur Lewat Peraturan Panglima

Adapun Anggota Komisi I DPR Amelia Anggraini mengusulkan agar penempatan anggota TNI dalam jabatan sipil diatur melalui Peraturan Panglima TNI dengan memenuhi sejumlah kriteria. “Dengan ketentuan bahwa mereka harus memenuhi kriteria standar kelayakan objektif,” kata dia dalam rapat kerja Komisi I DPR bersama Panglima TNI dan pimpinan tiga matra TNI di kompleks parlemen, Kamis, seperti dikutip dari Antara.

Politikus Partai Nasdem itu lantas mencontohkan kriteria standar kelayakan objektif itu, misalnya perihal latar belakang pendidikan atau kesarjanaan yang relevan dengan jabatan sipil yang akan diampu. Langkah tersebut, kata dia, penting untuk memastikan sistem meritokrasi tetap berjalan dengan baik dan menghindari potensi kecemburuan di kalangan aparatur sipil negara (ASN) mengenai penempatan tersebut.

“Selain itu, tentu saja kebijakan ini bertujuan untuk menegaskan bahwa penempatan TNI pada jabatan sipil bukan semata-mata karena jabatan militer mereka, tapi betul-betul didasarkan pada kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan secara profesional,” kata dia.

Syamsu Rizal: TNI Isi Jabatan Sipil Harus Disertai Pembatasan Ketat

Adapun Anggota Komisi I DPR Syamsu Rizal mengatakan wacana perluasan ruang bagi prajurit aktif TNI menduduki jabatan sipil melalui revisi UU TNI harus disertai dengan pembatasan yang ketat. Penempatan individu dalam suatu jabatan, kata dia, idealnya didasarkan prinsip meritokrasi.

Selain itu, perlu ada analisis kebutuhan bagi suatu unit jabatan yang memiliki kualifikasi tertentu. “Fungsi TNI sebagai garda depan pertahanan negara. Jangan sampai peran itu tumpang tindih dengan profesionalisme di ranah sipil,” kata Syamsu di Jakarta pada Rabu, 12 Maret 2025.

Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menuturkan analisis kebutuhan tersebut bisa menjadi landasan jika prajurit TNI hendak menduduki jabatan sipil dan mendapat persetujuan dari Presiden. Dengan adanya landasan, kata dia, pengisian jabatan sipil oleh prajurit TNI tidak terkesan berorientasi “bagi-bagi jabatan”, tetapi harus menjadi semangat pengabdian.

Dia juga mengatakan upaya menjaga keseimbangan antara optimalisasi peran TNI dan prinsip supremasi sipil sangat penting dalam menghadapi wacana perluasan penempatan prajurit TNI pada jabatan sipil. “Penempatan prajurit TNI di ranah sipil harus tetap melalui pembahasan dan pertimbangan yang matang agar masyarakat tidak antipati dengan TNI,” kata dia.

Menurut Syamsu, UU TNI yang masih berlaku saat ini pun sudah mengamanatkan agar prajurit TNI yang menduduki jabatan sipil harus memiliki syarat kompetensi dan transparansi seleksi yang terukur. Mekanisme seleksinya pun perlu melibatkan tim verifikasi independen guna menghindari praktik nepotisme atau intervensi politik. “Pembahasan ini harus dengan hati-hati untuk mempertahankan kesatuan dan keutuhan bangsa. Bagaimanapun jangan melupakan esensi reformasi TNI pasca-Orde Baru,” tuturnya.

Andi Adam Faturahman, Novali Panji Nugroho, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Soal Kepastian Pengangkatan CPNS, Ombudsman Minta Pemerintah Terbitkan Regulasinya

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |