TEMPO.CO, Jakarta - Presiden-terpilih AS Donald Trump telah menjatuhkan pilihannya untuk posisi menteri luar negeri kepada Marco Rubio.
Pemilihan Rubio pada Rabu, 13 November 2024, diumumkan bersamaan dengan pilihan kabinet lainnya, seperti Perwakilan Mike Waltz sebagai penasihat keamanan nasional dan John Ratcliffe untuk memimpin Badan Intelijen Pusat (CIA).
Di atas kertas, keduanya memiliki pendekatan yang berbeda tentang kebijakan luar negeri AS.
Rubio lebih merupakan seorang intervensionis tradisional yang menganjurkan pendekatan otot terhadap konflik-konflik luar negeri, sementara kebijakan luar negeri Trump berfokus pada penghindaran intervensi militer di luar negeri.
Hal ini, terkadang, mendorong Rubio untuk mengkritik kebijakan luar negeri Trump secara terbuka, termasuk pada 2019 ketika ia menuduh presiden saat itu "meninggalkan" upaya militer AS di Suriah sebelum "sepenuhnya selesai".
Namun, beberapa tahun belakangan, para pakar mengatakan, Rubio telah melunakkan sikapnya untuk menyesuaikan diri dengan Trump.
“Rubio adalah seorang politisi yang fleksibel dan pragmatis yang menyesuaikan diri untuk kebangkitan Presiden Trump,” kata Paul Musgrave, seorang dosen tentang pemerintahan di Georgetown University, Qatar, kepada Al Jazeera.
Sikap atas Perang Rusia di Ukraina
Salah satu pergeseran adalah pendekatan Rubio terhadap perang di Ukraina.
Pada bulan-bulan awal setelah invasi skala penuh Rusia pada Februari 2022, Rubio menggunakan media sosial untuk menggalang dukungan bagi Ukraina di antara warga Amerika. Selama periode itu, ia melabeli Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai "pembunuh" dan mempertanyakan kesehatan mentalnya.
Sebaliknya, Trump bersikeras bahwa Putin tidak akan pernah menginvasi Ukraina pada 2022 jika ia yang berkuasa.
Trump, yang akan menjabat kembali pada Januari, juga telah mengatakan ia akan menyelesaikan konflik “dalam 24 jam”. Ia telah menyarankan Ukraina untuk menyerahkan teritorialnya kepada Rusia untuk mencapai kesepakatan damai.
Rubio tampaknya telah melunakkan sikapnya tentang isu ini, kata Musgrave, namun dengan "wajah yang pragmatis, fleksibel, dan lebih menarik" daripada retorika Trump yang lebih bertele-tele.
Dalam beberapa wawancara baru-baru ini, Rubio menyarankan Ukraina untuk mencari "penyelesaian yang dinegosiasikan" dengan Rusia, dan ia adalah salah satu dari 15 senator Partai Republik yang memberikan suara menentang paket bantuan militer untuk Ukraina yang disahkan pada April.
Rubio telah menyatakan bahwa, dengan Trump berkuasa, AS dapat mengharapkan "kebijakan luar negeri yang lebih pragmatis".
Sikap terhadap Cina
Penunjukan Rubio sebagai menteri luar negeri mengisyaratkan kebijakan Trump terhadap Beijing dapat lebih dari sekadar tarif dan perdagangan, menjadi sikap yang lebih keras terhadap Cina sebagai saingan strategis utama Amerika Serikat.
Rubio “meyakini dalam hatinya bahwa Cina adalah musuh Amerika Serikat,” kata David Firestein, mantan diplomat AS dengan keahlian tentang Cina. “Keyakinan ini akan mewarnai segala yang ia lakukan yang berhubungan dengan Cina.”
Presiden Taiwan Lai Ching-te menulis di X, Kamis: “Sangat menghargai dukungan kuat Anda untuk Taiwan dan upaya tanpa lelah untuk membela kebebasan dan hak asasi manusia secara global.”
Trump telah berjanji untuk mengakhiri status “Most Favored Nation” untuk Cina dan memberlakukan tarif impor Cina lebih dari 60 persen - jauh lebih tinggi daripada yang diberlakukan pada masa jabatan pertamanya.
Rubio hampir pasti akan disetujui Senat AS, di mana ia adalah anggota senior untuk komisi-komisi hubungan internasional dan intelijen.
Dukungan warga Amerika keturunan Kuba yang anti-komunis ini terhadap para pengunjuk rasa demokrasi Hong Kong membuatnya dijatuhi sanksi oleh Cina pada 2020.
Ini akan menjadi pertama kalinya Cina melakukan pembatasan perjalanan aktif terhadap seorang menteri luar negeri AS, yang memberikan ujian awal tentang bagaimana Beijing dapat terlibat dengan pemerintahan Trump yang baru.
Sementara itu, Rubio telah menganjurkan sanksi visa AS bagi para pejabat Cina, dan mendorong Departemen Luar Negeri untuk melarang kepala pemerintahan Hong Kong, John Lee, untuk bepergian ke San Fransisco saat KTT APEC 2023.
Kedutaan Cina di Washington tidak berkomentar atas sanksi-sanksi Rubio atau pencalonannya, tetapi juru bicara Liu Pengyu mengatakan Beijing berharap bisa bekerja sama dengan pemerintahan baru untuk mempromosikan hubungan “ke arah yang stabil, sehat dan berkelanjutan.”
Sikap terhadap Konflik Israel Palestina
Trump dan Rubio awalnya berselisih dalam masalah ini pada 2016. Rubio, seorang pendukung lama Israel, menuduh Trump sebagai "anti-Israel" dan menerbitkan sebuah pernyataan berjudul "Cek Fakta: Donald Trump Bukan Sekutu Israel."
Pernyataan Rubio tersebut berkaitan dengan kata-kata Trump bahwa ia akan "menjadi orang yang netral" dalam konflik Palestina-Israel.
Dalam masa jabatan pertamanya, Trump pada akhirnya menepis setiap pertanyaan tentang netralitas setelah ia secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Sejak saat itu, ia menuduh Presiden Joe Biden, yang mengalahkannya pada pemilihan presiden 2020, telah menahan Israel dalam perangnya di Gaza dan mengatakan dalam sebuah debatnya melawan Biden pada Juni, ia akan membantu Israel “menyelesaikan pekerjaan itu” jika terpilih kembali.
Rubio memiliki sikap yang seperti biasa hawkish terhadap perang Israel di Gaza, mengatakan kepada seorang aktivis pada 2023 bahwa ia tidak mendukung gencatan senjata dan Hamas "100 persen harus disalahkan" atas kematian warga Palestina di Jalur Gaza.
Dia kemudian mendukung rencana Trump untuk mendeportasi demonstran mahasiswa asing pro-Palestina untuk membuat mereka "berperilaku baik".
Nader Hashemi, profesor politik Timur Tengah dan Islam di Georgetown University, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa komentar-komentar Rubio di masa lalu mengenai konflik ini, terutama ketika menyebut warga Palestina, terkadang "tidak bisa dibedakan dengan [Perdana Menteri Israel] Benjamin Netanyahu".
Rubio sebelumnya telah membela hak Israel untuk melakukan operasi darat di Rafah meskipun ada keputusan darurat dari Mahkamah Internasional untuk Israel untuk menghentikan serangan tersebut, dengan alasan "risiko yang sangat besar" bagi penduduk Palestina. Dia membandingkan operasi Israel dengan pengejaran Adolf Hitler selama Perang Dunia II.
AL JAZEERA | REUTERS