(Beritadaerah – Kolom) Kabupaten Aceh Barat Daya mencatat laju inflasi tahunan sebesar 3,94 persen pada pertengahan tahun 2024, berdasarkan data BPS melalui Kota Meulaboh sebagai kota IHK representatif. Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Juni tercatat di angka 107,87, naik dari bulan-bulan sebelumnya. Angka ini menandakan bahwa tekanan harga mulai dirasakan oleh masyarakat, terutama pada kelompok pengeluaran esensial.
Kelompok makanan, minuman dan tembakau mencatat andil inflasi terbesar. Kenaikan sebesar 6,3 persen secara tahunan mengindikasikan tekanan harga pada barang-barang konsumsi rumah tangga yang paling sering dibeli. Berdasarkan pola konsumsi di wilayah ini, komoditas seperti beras, minyak goreng, cabai merah, dan telur ayam ras menjadi penyumbang utama dalam kelompok tersebut. Kenaikan ini berdampak langsung pada struktur pengeluaran rumah tangga, karena menurut Susenas 2023, kelompok makanan di Aceh Barat Daya menyumbang lebih dari 45 persen dari total konsumsi per kapita.
Selain itu, kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya mengalami inflasi tahunan tertinggi, yakni sebesar 9,76 persen. Komponen ini mencakup barang-barang seperti perlengkapan mandi, kosmetik, serta jasa perawatan. Meskipun bukan merupakan komponen pengeluaran terbesar, kenaikan harga di kelompok ini mencerminkan adanya tekanan tambahan terhadap daya beli, terutama bagi rumah tangga berpendapatan menengah ke bawah.

Kelompok penyediaan makanan dan minuman/restoran juga mencatat inflasi sebesar 3,29 persen. Data ini menunjukkan bahwa biaya konsumsi di luar rumah ikut meningkat, meskipun volumenya tidak seintens kelompok makanan pokok. Berdasarkan Survei Biaya Hidup (SBH), konsumsi di sektor ini menyumbang sebagian kecil dari total pengeluaran masyarakat, namun tetap menjadi indikator penting untuk melihat kecenderungan mobilitas dan preferensi konsumsi masyarakat di daerah pesisir.
Meski inflasi tercatat cukup tinggi, belum ada data resmi yang menunjukkan adanya kenaikan pendapatan rumah tangga di periode yang sama. PDRB per kapita Kabupaten Aceh Barat Daya pada tahun 2023 berada di kisaran Rp38–40 juta per tahun, atau sekitar Rp3,1–3,3 juta per bulan jika dirata-ratakan. Ketika dibandingkan dengan pengeluaran per kapita dari Susenas, yang berada pada kisaran Rp1,7–1,9 juta per bulan, terlihat adanya ruang konsumsi. Namun perlu dicatat, PDRB per kapita tidak secara otomatis mencerminkan pendapatan riil rumah tangga, apalagi di wilayah dengan struktur ekonomi yang masih sangat agraris dan informal.
Sementara itu, data Nilai Tukar Petani (NTP) tidak tersedia secara khusus untuk kabupaten ini, namun data provinsi menunjukkan fluktuasi yang cenderung stabil, dengan kecenderungan sedikit menurun pada triwulan II 2024. Jika tren ini serupa di Aceh Barat Daya, maka petani di wilayah ini bisa jadi mengalami tekanan daya beli, terutama jika hasil panen tidak diimbangi dengan harga jual yang kompetitif. Komoditas utama di wilayah ini mencakup padi, kelapa sawit rakyat, dan hasil perikanan tangkap, yang semuanya sangat tergantung pada musim dan harga pasar yang berfluktuasi.
Di tengah situasi ini, tantangan daya beli menjadi isu utama. Ketika harga kebutuhan pokok naik lebih cepat daripada pertumbuhan pendapatan rumah tangga, maka daya beli efektif masyarakat menurun. Hal ini tercermin pada kenaikan IHK tanpa diiringi data pendukung tentang pertumbuhan konsumsi atau peningkatan kesejahteraan secara menyeluruh.
Namun demikian, Aceh Barat Daya tetap menunjukkan stabilitas harga dalam beberapa kelompok penting. Kelompok transportasi, misalnya, mencatat perubahan yang relatif kecil. Hal ini mungkin disebabkan oleh belum adanya perubahan signifikan pada tarif angkutan umum atau harga bahan bakar bersubsidi. Kelompok kesehatan dan pendidikan juga menunjukkan inflasi tahunan yang rendah, yang menunjukkan stabilitas biaya layanan dasar di daerah tersebut.
Dengan mempertimbangkan keseluruhan struktur inflasi, beban pengeluaran terbesar tetap berasal dari kelompok makanan dan kebutuhan rumah tangga harian. Maka, fokus kebijakan sebaiknya diarahkan pada penguatan ketahanan pangan lokal, stabilisasi harga komoditas kunci, dan perlindungan terhadap kelompok rentan, seperti petani kecil, nelayan, dan pekerja informal. Tanpa intervensi kebijakan yang tepat, tekanan daya beli akan terus berlanjut dan berdampak pada konsumsi jangka panjang.
Dalam menilai kondisi daya beli masyarakat Aceh Barat Daya, penting untuk melihat hubungan antara pendapatan rata-rata dan pengeluaran rumah tangga. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), PDRB per kapita Aceh Barat Daya tahun 2023 berada pada kisaran Rp38–40 juta per tahun, yang jika dibagi rata menjadi sekitar Rp3,2 juta per bulan. Angka ini, meski merupakan rerata, mencerminkan potensi ekonomi bruto per individu di wilayah tersebut.
Namun, potensi ini harus dibandingkan dengan pengeluaran riil masyarakat. Menurut Susenas 2023, rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di wilayah-wilayah dengan karakteristik serupa berada pada kisaran Rp1,8 juta. Dengan demikian, secara nominal, masyarakat tampaknya masih memiliki ruang fiskal. Tetapi kenyataannya tidak sesederhana itu, sebab angka PDRB per kapita mencakup seluruh total output ekonomi (termasuk sektor perkebunan besar dan institusi), dan bukan pendapatan langsung yang diterima rumah tangga.
Di lapangan, mayoritas rumah tangga di Aceh Barat Daya hidup dari sektor informal seperti pertanian, perikanan, dan perdagangan kecil. Dalam struktur ini, pendapatan sangat dipengaruhi oleh musim, harga jual hasil panen, dan stabilitas pasar. Ketika inflasi terjadi — terutama di sektor makanan dan jasa rumah tangga — tanpa adanya pertumbuhan pendapatan yang sepadan, maka terjadi penurunan daya beli riil, meskipun nominal penghasilan tidak berubah.
Hal ini tercermin dalam pola konsumsi masyarakat. Berdasarkan struktur konsumsi Susenas, lebih dari 45% pengeluaran rumah tangga di Aceh Barat Daya dialokasikan untuk makanan. Ketika kelompok makanan mengalami inflasi 6,3%, sementara pendapatan stagnan, maka proporsi pengeluaran untuk makan pun membengkak. Akibatnya, pengeluaran untuk kebutuhan lain seperti pendidikan, kesehatan, atau transportasi akan ditekan.
Tidak adanya data Nilai Tukar Petani (NTP) spesifik untuk Aceh Barat Daya menjadi kendala tersendiri, namun secara provinsi, NTP Aceh sempat mengalami penurunan pada pertengahan 2024. Karena struktur ekonomi wilayah ini sangat bergantung pada pertanian rakyat, tren tersebut sangat mungkin tercermin di sini. NTP yang turun berarti harga barang yang dikonsumsi petani naik lebih cepat dibanding harga barang yang mereka jual. Dengan kata lain, daya beli petani memburuk.
Dalam situasi ini, indikator daya beli bukan hanya terlihat dari besarnya pendapatan, tetapi dari bagaimana masyarakat mengalokasikan pengeluarannya. Data pengeluaran yang tetap atau menurun untuk sektor non-pokok, seperti rekreasi dan pakaian, dapat diartikan sebagai strategi penyesuaian rumah tangga untuk menjaga agar kebutuhan utama tetap terpenuhi. Dengan inflasi yang cukup tinggi, ini adalah bentuk adaptasi yang umum terjadi di wilayah dengan daya beli yang mulai tertekan.
Tantangan utama bagi daya beli di Aceh Barat Daya adalah sifat musiman pendapatan dan keterbatasan diversifikasi ekonomi. Ketika masyarakat hanya mengandalkan satu sumber penghasilan yang fluktuatif, maka kemampuan konsumsi juga ikut naik turun. Hal ini menyebabkan ketidakstabilan belanja rumah tangga, menurunkan potensi investasi keluarga (seperti pendidikan anak), dan menambah kerentanan terhadap guncangan harga.