TEMPO.CO, Jakarta - Penelitian yang fokus pada panel 105 relief Karmawibhangga mengungkap bahwa Candi Borobudur tidak hanya menampilkan aspek artistik dari ukiran dan desain, tetapi juga menyajikan perspektif biodiversitas dari kacamata queer (inklusivitas atau kecairan). Perspektif tersebut menyatakan bahwa tanaman, hewan, dan manusia memiliki kesetaraan yang inheren, mencegah persepsi bahwa manusia lebih unggul secara hierarkis.
Hasil penelitian oleh tim dari multidisiplin ilmu tersebut telah dipublikasikan dalam jurnal eTropic pada 14 Agustus 2024 dalam judul 'Queering Tropical Heritage: Flora and Fauna Reliefs in Karmawibhangga, Borobudur Temple, Indonesia'. Paparannya diberikan dalam diskusi daring 'Panel Rahasia: QUEER! Narasi panel cerita Flora dan Fauna dan 'Post-human' Karmawibhangga Borobudur' yang digelar Pusat Riset Biosistematika Evolusi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada Kamis 24 Oktober 2024.
Hasil penelitian oleh tim dari BRIN, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, dan Universitas Indonesia (UI) itu menantang pemikiran penelitian sebelumnya oleh arkeolog Belanda, Nicolaas Krom, yang pada 1920 telah meneliti relief Candi Borobudur juga menggunakan metodologi queer. Disebutkan kalau saat itu Krom masih antroposentris.
Sebanyak empat orang yang sedang bermeditasi atau bertapa dalam panel nomor 105 tersebut digambarkan Krom sebagai pria dan karenanya mereka kuat bertahan hidup di alam. Deskripsi yang cenderung menormalkan dikotomi maskulinitas dan feminitas tersebut dinilai akan membentuk biner gender yang memperkuat gagasan bahwa pria lebih unggul daripada perempuan.
Hasil penelitian terbaru menampilkan praktik spiritual yang ada pada panel yang sama yang melebur pemisahan seksualitas dan bahkan menyatukan manusia dengan unsur alam (post-human). “Melihat relief ini, kita tidak terfokus pada sentralitas petapa, tapi melihat keseluruhan konteks yang ada dalam relief,” kata Aris Arif Mundayat, sosiolog Universitas Sebelas Maret Surakarta, anggota tim peneliti, dalam webinar.
Dia mencontohkan peleburan itu adalah harimau betina yang lebih dulu berburu daripada harimau jantan. Sedangkan post-human didapati dari relief pohon ketapang.
Jika dilihat dari bawah, percabangan daun pohon ketapang ini di empat penjuru mata angin akan terlihat layaknya kondisi inti stupa yang kosong di Borobudur. "Kondisi suwung (kosong) yang menjadi tujuan utama dalam pertapaan ini,” kata peneliti BRIN, Ibnu Maryanto.
Tim juga mengungkap hasil penelitian mereka meluruskan mispersepsi terhadap sesuatu yang digambarkan berada di atas kepala para petapa pada panel tersebut. Disebutkan, itu adalah hewan gastropoda (keong) yang hermafrodit alias memiliki dua jenis kelamin di setiap individunya.
"Penelitian ini telah meniadakan nilai sentralitas, poin penting dari pendekatan queer dan post-human yang tidak terjadi pada penelitian Krom pada 1920 lalu," kata Aris.
Iklan
Secara sederhana, queer merupakan teori yang menentang logika oposisi biner yang membagi dunia menjadi dua klasifikasi, seperti baik-buruk, kuat-lemah, laki-laki perempuan, dan seterusnya. Dengan pendekatan ini, peneliti melihat adanya prinsip kesetaraan dan kesalingterhubungan dari seluruh ornamen yang tergambar pada panel.
Adapun relief Karmawibhangga berada di kaki Candi Borobudur terdiri atas 160 panel dengan cerita yang berbeda-beda. Karmawibhangga dipercaya sebagai kumpulan ajaran sang Buddha tentang hukum karma atau hukum sebab akibat.
Dalam penelitiannya, tim berfokus pada panel nomor 105 yang dianggap paling rumit karena memuat keragaman flora dan fauna tertinggi. Ada 6 jenis flora dan 8 jenis fauna yang teridentifikasi dapada panel 105. Analisisnya, antara lain menunjukkan waktu cerita seperti pagi, siang, sore, dan malam sejalan dengan kemunculan fauna-fauna tersebut pada waktu-waktu tertentu saja.
Panel itu dinilai lebih rumit ketimbang empat orang yang sedang bertapa atau bermeditasi dan dikelilingi oleh flora dan fauna--seperti yang pernah disampaikan Krom. "Dan ini yang harus kita terjemahkan," kata Ibnu.
Menurut profesor riset bidang zoologi ini, penggambaran karma pada panel Karmawibhangga tidak hanya menjelaskan prinsip-prinsip atau hukum sebab akibat. Panel tersebut juga menunjukkan gerakan menuju pembubaran dualitas kognitif untuk mengungkap pendekatan yang bertujuan untuk memahami flora-fauna secara utuh.
"Dan manusia tidak hanya ditampilkan sebagai antroposentris saja, tetapi kita harus mengikatkan dalam post-human, harus kita ikutkan kesetaraan di dalam pengelolaan alam ini,” kata dia lagi.
Bayu Mentari dan Antara berkontribusi dalam tulisan ini.