TEMPO.CO, Jakarta - Universitas Indonesia atau UI akan menggelar konferensi pers mengumumkan putusan terkait nasib disertasi Bahlil Lahadalia di Ruang Senat Fakultas Kedokteran UI, Salemba, Jakarta Pusat, hari ini, Jumat, 7 Maret 2025. Bahlil sebelumnya dinyatakan lulus dari program doktor di Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) pada 16 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan ini merupakan hasil dari sidang dugaan pelanggaran etik yang digelar oleh Dewan Guru Besar UI atau DGB pada 10 Januari lalu. "UI akan melaksanakan konferensi pers terkait hasil rapat koordinasi 4 organ UI terhadap Sidang Dugaan Pelanggaran Etik Mahasiswa SKSG," tertulis dalam surat undangan yang ditandatangani oleh Direktur Humas, Media, Pemerintah, dan Internasional UI, Arie Afriansyah.
Ketika dimintai konfirmasi, Arie membenarkan surat undangan tersebut. Ia juga mengatakan bahwa konferensi pers ini memutuskan nasib promotor dan ko-promotor disertasi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral itu. "Iya, betul," kata dia melalui aplikasi perpesanan pada Kamis, 6 Maret 2025.
Konferensi pers dijadwalkan dilaksanakan selama setengah jam, mulai pukul 11.00 hingga 11.30 WIB. Arie mengatakan bahwa UI berkomitmen menjaga integritas akademik dan etika mahasiswa.
Sebelumnya, hasil sidang etik mahasiswa S3 SKSG UI memutuskan untuk membatalkan tugas akhir atau disertasi Bahlil Lahadalia yang dinyatakan lulus pada 16 Oktober 2024 lalu. Berdasarkan dokumen risalah hasil rapat pleno Dewan Guru Besar UI yang diperoleh Tempo, keputusan ini bersifat rekomendasi, sehingga pembatalannya berada di tangan rektor.
Sidang yang diketuai oleh Harkristuti Harkrisnowo itu mengatakan setidaknya terdapat empat pelanggaran sehingga hasil sidang memutuskan kepada Bahlil Lahadalia untuk menulis ulang disertasinya dengan topik baru sesuai standar akademik UI.
Pelanggaran tersebut di antaranya adalah ketidakjujuran dalam pengambilan data, di mana data penelitian disertasi diperoleh tanpa izin dari narasumber dan penggunaannya tidak transparan. Selain itu, terdapat pelanggaran standar akademik, di mana Bahlil Lahadalia diterima dan lulus dalam waktu singkat tanpa memenuhi syarat akademik yang ditetapkan.
Kemudian, sidang yang dihadiri 32 orang guru besar itu juga mengatakan bahwa Bahlil mendapat perlakuan khusus dalam proses akademik, termasuk keistimewaan dalam pembimbingan, perubahan mendadak penguji, hingga kemudahan dalam kelulusan. Selain itu, terdapat konflik kepentingan karena promotor dan ko-promotor memiliki keterkaitan profesional dengan kebijakan yang diatur Bahlil saat menjabat sebagai pejabat negara.
"Kesimpulan ini mencerminkan keseriusan DGB UI dalam menjaga standar akademik dan etika penelitian, serta menegaskan bahwa pelanggaran akademik tidak akan ditoleransi, terlepas dari jabatan atau status sosial seseorang," tertulis dalam surat yang ditandatangani pada 10 Januari 2025 itu.
Sementara itu, pada hasil sidang yang sama, DGB UI merekomendasikan sanksi bagi promotor dan ko-promotor yang membimbing Bahlil.
Dalam risalah tersebut tertulis bahwa promotor dan ko-promotor memiliki keterkaitan profesional dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Bahlil Lahadalia saat menjabat sebagai pejabat negara. Selain itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) itu diduga mendapatkan perlakuan istimewa, mulai dari proses pembimbingan hingga kelulusan, termasuk perubahan penguji yang dilakukan secara mendadak. Bahlil menulis disertasi bertajuk "Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia".
DGB UI merekomendasikan sanksi bagi promotor, yaitu larangan mengajar, membimbing, dan menguji selama minimal tiga tahun, penundaan kenaikan pangkat atau golongan selama tiga tahun, serta pengunduran diri dari jabatan strukturalnya sebagai dekan. Adapun sosok yang menjadi promotor saat sidang tersebut adalah Chandra Wijaya.
Kemudian, Teguh Dartanto, selaku ko-promotor satu, disarankan menerima teguran keras dan surat peringatan, serta penundaan kenaikan pangkat atau golongan selama maksimal dua tahun. Adapun Athor Subroto, sebagai ko-promotor dua, direkomendasikan sanksi berupa larangan mengajar, membimbing, dan menguji selama tiga tahun, penundaan kenaikan pangkat atau golongan selama tiga tahun, serta pengunduran diri dari jabatannya sebagai Direktur SKSG.
"Kasus ini mencoreng reputasi akademik UI dan memberikan persepsi bahwa UI memberikan perlakuan istimewa bagi pejabat negara," tertulis dalam dokumen tertanggal 10 Januari itu. Tempo sudah meminta izin kepada Harkristuti untuk mengutip dokumen tersebut.