8 Macam Upacara Adat Jawa, Mulai dari Kelahiran Bayi sampai Pernikahan

9 hours ago 5

TEMPO.CO, JAKARTA - Suku Jawa dikenal sebagai suku yang sangat kental dengan tradisi dan upacara adat. Bahkan sejumlah upacara adat Jawa hingga kini masih terus dilestarikan. Setiap upacara yang dilakukan tidak hanya sekadar ritual, tetapi juga mengandung nilai-nilai filosofis, budaya, dan spiritual yang mendalam.

Upacara adat Jawa biasanya dilakukan untuk berbagai tujuan, seperti syukuran, permohonan keselamatan, atau sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan kekuatan alam. Beberapa diantaranya juga termasuk upacara kelahiran hingga pernikahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agar tidak penasaran, berikut adalah beberapa upacara adat Jawa yang masih dilestarikan oleh masyarakat dilansir dari buku Adat Istiadat Jawa Tengah. 

1. Selamatan

Untuk menyambut kelahiran seorang bayi, masyarakat Jawa sering mengadakan acara selamatan yang dikenal juga dengan nama brokohan. Tujuan dari acara ini bukan hanya untuk merayakan kelahiran bayi, tetapi juga untuk memohon keselamatan bagi sang bayi. Sebagai simbol, disediakan telur mentah dengan jumlah yang sesuai dengan hari pasaran kelahiran bayi. Telur mentah dipilih karena melambangkan jiwa bayi yang masih murni dan belum sempurna sebagai manusia. Selain itu, telur mentah juga dianggap sebagai simbol kekuatan dan digunakan sebagai penolak bahaya. 

2. Tedak Siten

Ketika seorang anak mencapai usia 7 bulan atau 8 bulan lebih beberapa hari, anak tersebut dianggap cukup siap untuk mulai berjalan di tanah dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Untuk menandai momen ini, diadakanlah sebuah upacara yang disebut tedak siten atau mudun lemah. Kata "siten" berasal dari kata "siti," yang berarti tanah. Dalam upacara ini, makanan yang disediakan meliputi nasi gudangan, jenang merah, dan jenang putih, yang melambangkan kesejahteraan jasmani dan rohani anak, serta sebagai simbol darah dari ayah dan ibu.

3. Supitan

Menurut adat Jawa, anak laki-laki sekitar umur 14 tahun dianggap telah mulai menginjak alam kedewasaan. Untuk menyambut hal tersebut, maka diadakanlah acara supitan atau khitanan. Pada upacara khitanan ini, ada seekor ayam jantan yang dikurung dalam keadaan hidup sebagai lambang si anak yang dikhitankan. Jika pihak keluarga menyelenggarakan pertunjukan wayang, maka biasanya si anak duduk di atas singgasananya dan menyaksikan wayang dengan tumpukan bantal di belakang punggungnya.

4. Sasrahan dan Tarub 

Dalam adat Jawa, sebelum sepasang pengantin melangsungkan perkawinan, maka akan diadakan acara sasrahan. Sasrahan berarti penyerahan dan sering pula disebut pula lamaran atau pinangan. Upacara sasrahan biasanya dilakukan tiga, dua atau sehari sebelum nikah. Disebut sasrahan karena orang tua calon pengantin pria menyerahkan barang-barang yang dimaksud sebagai hadiah kepada keluarga calon pengantin wanita.

5. Midodareni

Sehari sebelum acara pernikahan, diadakan malam midodareni, di mana calon pengantin pria datang ke rumah calon pengantin wanita sekitar pukul 19.00, didampingi oleh keluarga. Calon pengantin pria mengenakan pakaian khas ksatria, yaitu kain bebed, surjan sutra, ikat kepala, kalung karset, peniti, dan dilengkapi keris.  

Setelah tiba, calon pengantin pria diserahkan kepada keluarga calon pengantin wanita dan diterima oleh orang tuanya. Ia kemudian ditempatkan di area tertentu, seperti paviliun, gandok, atau rumah tetangga. Sebelumnya, baik calon pengantin pria maupun wanita menjalani prosesi mandi dan keramas menggunakan air yang diberi bunga, dikenal sebagai kembang setaman, sebagai bagian dari persiapan ritual menjelang pernikahan.

6. Tingkep atau Mitoni

Tradisi yang dikenal dalam masyarakat adalah selamatan untuk ibu hamil yang dilakukan ketika usia kehamilan mencapai tujuh bulan. Meskipun demikian, menurut adat, upacara untuk ibu hamil sebenarnya dimulai sejak bulan pertama hingga bulan kesembilan. Namun, upacara yang paling penting dan dianggap paling besar adalah upacara tujuh bulan atau yang biasa disebut tingkep, yang juga sering disebut mitoni (dari kata "pitu" yang berarti tujuh).  

Upacara tingkep sebaiknya dilakukan pada hari Rabu atau Sabtu, pada tanggal ganjil sebelum tanggal 15 dalam kalender Jawa. Hal ini sesuai dengan adat, karena mitoni sebenarnya tidak dilakukan tepat pada saat usia bayi tujuh bulan dalam kandungan, melainkan berdasarkan waktu yang dianggap lebih sesuai menurut perhitungan adat tersebut.

7. Ruwatan

Kata "ruwat" atau "ngruwat" memiliki arti mengatasi dan menghindari kesulitan batin yang dialami oleh seseorang. Tujuan dari upacara ruwatan adalah untuk menjauhkan diri dari pengaruh roh jahat yang sering mengganggu kehidupan manusia. Beberapa orang berpendapat bahwa upacara ruwatan hanya merupakan usaha untuk menghindari kesulitan dalam hidup, sementara yang lain meyakini bahwa upacara ini bertujuan untuk mengatasi kesulitan batin seseorang. Dalam upacara ruwatan, biasanya juga diadakan pertunjukan wayang sebagai bagian dari prosesi.

8. Sedekah Laut

Upacara sedekah laut bertujuan untuk memohon keselamatan serta menyampaikan rasa syukur kepada dewa laut yang telah memberikan berkah rejeki bagi kehidupan masyarakat setempat, khususnya para nelayan yang bergantung pada hasil laut. Di Cilacap, upacara ini dipersembahkan kepada Nyai Lara Kidul, penguasa laut selatan. Upacara sedekah laut di Cilacap diadakan setiap tahun pada bulan Suro, biasanya pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon. Acara ini dilaksanakan di dua lokasi, yaitu di Karang Badung Nusa Kambangan dan di tengah laut. Masyarakat setempat meyakini bahwa Karang Badung merupakan gerbang menuju Kerajaan Segara Kidul.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |