TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida, menilai pers mahasiswa memiliki peran strategis dalam merespons penyebaran konten berbahaya di ruang digital. Menurutnya, pers mahasiswa berfungsi sebagai media independen yang kritis dan analitis di kalangan anak muda. "Tidak hanya meliput isu-isu di lingkungan kampus, tetapi juga permasalahan yang terjadi di masyarakat secara luas,"ujar Nany dalam Seminar Nasional dan Peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025 di Auditorium IAIN Kediri, Ahad, 4 Mei 2025, seperti dikutip dari keterangan tertulis.
Menurut Nany, peran ini menjadikan pers mahasiswa menjadi aktor penting memerangi disinformasi sekaligus meningkatkan literasi media di kalangan mahasiswa. "Sayangnya, lembaga pers mahasiswa masih menghadapi berbagai tantangan mulai dari ancaman fisik maupun digital, hingga keterbatasan akses terhadap pengembangan kapasitas secara profesional," kata Nany.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu yang Nany soroti adalah penurunan indeks kebebasan pers di Indonesia. Ia mencatat, peringkat Indonesia dalam World Press Freedom Index kini turun ke posisi 124 dari 180 negara. "Banyak terjadi kekerasan terhadap jurnalis profesional di daerah, bahkan juga menimpa mereka dari kalangan pers mahasiswa," ujarnya.
Nany menilai, kebebasan pers di Indonesia masih jauh dari ideal, bahkan cenderung memburuk. Ia menyebut, meskipun Dewan Pers setiap tahun merilis indeks kebebasan pers yang tampak baik, namun realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Data dari World Press Freedom Index 2025 yang dirilis Reporters Without Borders pada 2 Mei 2025 menunjukkan bahwa peringkat Indonesia terus menurun, dari posisi 108 pada 2023 menjadi 111 pada 2024, dan kini berada di peringkat 127 dari 180 negara.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Wahyu Gilang, mengungkapkan bahwa sepanjang 2013 hingga 2021 terdapat 331 kasus kekerasan terhadap pers mahasiswa, yang melibatkan pelaku dari birokrasi kampus, organisasi, hingga aparat. "Dari kurun waktu 2013–2021 tercatat ada 331 kasus kekerasan terhadap persma di berbagai kampus di Indonesia,"katanya dalam diskusi yang sama.
Nany mengingatkan, kekerasan dan intimidasi tidak hanya menimpa jurnalis profesional, tetapi juga pers mahasiswa. Namun demikian, menurutnya, kekerasan terhadap pers mahasiswa masih jarang mendapat perhatian. "Tantangan ke depan itu semakin kompleks. Di satu sisi kita menghadapi konten berbahaya, hoaks, disinformasi, misinformasi, ujaran kebencian, dan lain-lain, tapi di sisi lain pers mahasiswa juga menjadi sasaran sensor, tekanan institusi, bahkan serangan digital," ujar Nany.
Dalam diskusi yang sama, perwakilan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), Ana Lomtadze, menegaskan pentingnya peran pers mahasiswa di lingkungan kampus. Mereka dinilai sebagai media independen anak muda dalam meliput isu-isu kampus maupun masyarakat luas.
Ana juga menyoroti tantangan baru yang dihadapi pers mahasiswa, khususnya terkait pengaruh kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) terhadap kebebasan berekspresi. Ia menggarisbawahi, peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia tahun ini menyoroti pengaruh AI terhadap kebebasan berekspresi dan lanskap media.
Menurut Ana, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk merenungkan tantangan transformasi digital.
"Sangat sulit untuk menolak, apalagi memahami dan menganalisis isu-isu yang saat ini memengaruhi kita semua. Di sinilah pers berperan, tidak hanya melaporkan kisah-kisah yang menjadi perhatian publik, (tapi) Anda juga memerangi disinformasi dan meningkatkan kesadaran," kata Ana yang hadir secara daring.
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya literasi media, tidak hanya untuk menavigasi dunia digital, tetapi juga untuk menghasilkan jurnalisme independen yang profesional dan berpihak pada publik.
"Literasi membantu membekali kemampuan untuk berpikir kritis, memverifikasi fakta, mengenali informasi ini dan secara keseluruhan membantu menavigasi platform digital, dengan lebih aman dan kritis," ujarnya.
Ana menutup pernyataannya dengan menegaskan komitmen UNESCO dan AJI untuk terus mendukung jurnalisme beretika, termasuk di kalangan pers mahasiswa. Menurutnya, inisiatif ini penting guna memperkuat keamanan digital dan memastikan pers mahasiswa dapat menjalankan peran mereka dengan aman.