TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi II DPR RI Eka Widodo mendesak Badan Pemeriksa Keuangan RI segera mengaudit dana yang digunakan KPU, Bawaslu, dan DKPP berkaitan dengan penyelenggaraan dan penggunaan anggaran Pemilu dan Pilkada 2024. Dia menuturkan publik menunggu keseriusan BPK mengaudit dana pemilu dan pilkada.
“Jangan sampai ada dana rakyat yang diselewengkan dalam Pemilu dan Pilkada Serentak 2024,” kata Eka di Jakarta, Senin, 9 Desember 2024.
Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR RI itu mengatakan anggaran yang digunakan untuk pemilu dan pilkada sangat besar. Total anggaran Pemilu 2024 sebesar Rp 71,3 triliun, sedangkan anggaran untuk Pilkada 2024 sebesar Rp 37,4 triliun yang bersumber 40 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta 60 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional.
Namun, kata dia, dana tersebut belum termasuk tambahan biaya pemungutan suara ulang (PSU) di 287 tempat pemungutan suara yang tersebar di 20 provinsi dan juga pilkada ulang yang akan digelar pada 27 Agustus 2025. “Beruntung Pilpres 2024 satu putaran, bila dua putaran, negara harus menggelontorkan APBN tambahan sebesar Rp 38,2 triliun,” kata dia.
Dia mengatakan desakan audit anggaran sangat wajar mengingat dana Pemilu 2024 sangat fantastis. Menurut dia, dana Pemilu 2024 menyamai alokasi dana Program Makan Bergizi Gratis senilai Rp 71 triliun untuk 2025.
Eka meminta BPK memastikan audit dana pemilu dan pilkada dilakukan segera secara independen, objektif, dan profesional. Menurut dia, BPK harus tetap mengedepankan nilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan penggunaan dana yang bersumber dari uang rakyat.
ICW Minta KPU Serius Tangani Dana Kampanye Pilkada 2024
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch meminta Komisi Pemilihan Umum RI lebih serius menangani potensi ketidakjujuran dalam pelaporan dana kampanye Pilkada 2024. Anggota Divisi Korupsi Politik ICW, Seira Tamara, mengatakan masih ada 33 paslon yang jumlah pengeluarannya Rp 0.
KPU beralasan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) kandidat yang masih Rp 0 karena paslon baru mendapat keputusan pencalonan di akhir tenggat penelitian administrasi. Menurut Seira, LADK yang dilaporkan paslon seharusnya tidak terpengaruh dinamika politik pencalonan.
“Seharusnya KPU sudah mempertimbangkan kemungkinan ini sejak awal dan mengakomodasinya ke dalam jadwal pelaksanaan tahapan pemilihan,” kata Seira dalam keterangan tertulis kepada Tempo pada Kamis, 28 November 2024.
Sebelumnya, KPU RI telah mengumumkan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK). Namun hasil penelusuran ICW terhadap LPSDK calon kepala daerah di 37 provinsi menunjukkan bahwa pemberi sumbangan didominasi oleh paslon, bukan pihak lain seperti pebisnis. Sebanyak 67 dari 103 paslon masih mengandalkan sumbangan dari dirinya sendiri.
“Padahal, telah menjadi rahasia umum bahwa kandidat dalam pilkada kerap mendapatkan sumbangan dari pihak-pihak tertentu, misalnya para pebisnis,” kata Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Egi Primayogha dalam keterangan tertulisnya pada Selasa, 26 November 2024.
Egi menyebutkan sumbangan pebisnis rawan terjadi karena ongkos politik pilkada sangat tinggi. Apalagi kandidat membutuhkan sumber daya untuk memenangkan kontestasi. Di sisi lain, dengan memberikan sumbangan, pebisnis berkepentingan mendapatkan konsesi dan proyek-proyek negara.
Penelusuran yang ICW lakukan pada periode 18-21 November 2024 juga menunjukkan hanya terdapat 13 dari total 103 kandidat yang sumbangan kampanyenya didominasi oleh individu.
“Sehingga laporan tersebut kami nilai tidak jujur. Lebih buruk, para individu pemberi sumbangan tersebut tidak dapat diketahui identitasnya,” tuturnya.
Menurut Egi, dalam portal laporan dana kampanye yang KPU kelola (infopemilu.kpu.go.id), informasi penerimaan sumbangan dan pengeluaran dana kampanye hanya menampilkan tanggal dan nominal. ICW menilai keterangan yang tidak terbuka ini sebagai pintu masuk pendanaan gelap dari para cukong.
Dalam portal yang dikelola KPU kelola, hanya terdapat LADK yang mencakup penerimaan dan pengeluaran, serta penerimaan sumbangan dan pengeluaran dana kampanye. Dalam hal penerimaan sumbangan, portal ini hanya mencantumkan sumbangan dalam bentuk uang, barang, dan jasa yang bersumber dari pasangan calon, partai, dan pihak lain perseorangan. Sedangkan sumbangan dari badan swasta tidak dicantumkan.
ICW menyebutkan KPU tidak serius merespons ketidakjujuran kandidat dalam melaporkan dana kampanye. ICW mendapati setidaknya 14 paslon yang mencantumkan penerimaan dan pengeluaran dalam LADK sebesar Rp 0. Serta terdapat 33 paslon yang total pengeluarannya masih sebesar Rp 0.
Penjelasan KPU Soal Adanya LADK Sebesar Rp 0
Komisioner KPU RI Idham Holik menjelaskan mengapa ada pengeluaran dan penerimaan dana kampanye pasangan calon Rp 0. Dia mengatakan LADK paling lambat diserahkan pada hari pertama kampanye. Namun banyak pasangan calon yang baru mendapatkan keputusan pencalonan menjelang akhir pendaftaran. Sehingga, KPU menerima LADK dari pasangan calon tersebut karena tidak boleh kampanye selama proses penelitian administrasi.
“Jadi yang bersangkutan masih melakukan konsolidasi internal, sehingga belum mempersiapkan diri mencetak bahan kampanye atau alat peraga kampanye,” kata Idham saat dihubungi Tempo pada Selasa, 26 November 2024.
Menurut dia, KPU tidak mungkin menolak LADK kandidat. Namun Idham menuturkan KPU daerah tentu mengonfirmasi kepada pasangan calon ketika menerima LADK.
Kandidat yang menyerahkan LADK nol rupiah akan terpantau penerimaan dan pengeluaran dana kampanye dalam LPPDK. Idham mengatakan LPPDK akan diumumkan ke masyarakat setelah audit oleh akuntan publik. Menurut dia, hal itu serupa seperti yang dilakukan ketika pemilu presiden dan pemilu anggota legislatif .
Eka Yudha Saputra dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Akademisi UGM Sepakat Revisi UU Parpol dan UU Pemilu Dilakukan Bersamaan, Ini Alasannya