TEMPO.CO, Jakarta - Pertengahan Oktober lalu, AS mengatakan bahwa Israel memiliki waktu 30 hari untuk meredakan krisis kemanusiaan yang ditimbulkannya di Gaza. Sebulan berlalu, kondisi itu tidak membaik dan Israel tetap tidak memenuhi komitmennya. AS mengakui bahwa situasi kemanusiaan di Gaza masih tetap mengerikan.
Namun, tidak ada hukuman yang dijatuhkan. Jangankan sanksi, Departemen Luar Negeri AS malah memberikan pemakluman. Mereka hanya menjelaskan bahwa mereka tidak dapat “mencapai penilaian”.
Pada Selasa, AS malah mengonfirmasikan mereka akan melanjutkan bantuan militernya yang substansial kepada Israel, meskipun genosida yang sedang berlangsung di Gaza, yang telah mengakibatkan terbunuhnya sedikitnya 43.700 warga Palestina.
Departemen Luar Negeri AS menyatakan bahwa tidak ada perubahan pada kebijakannya terkait aliran senjata ke Israel. Juru bicara Vedant Patel menegaskan, "Saya tidak memiliki perubahan apa pun pada kebijakan AS mengenai masalah ini untuk diumumkan."
Surat untuk Netanyahu
Dalam suratnya pada 13 Oktober kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Departemen Luar Negeri AS tampaknya menyinggung beberapa keprihatinan atas krisis kemanusiaan yang ditimbulkan oleh dukungannya yang tak tergoyahkan terhadap perang Israel di Gaza.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Menteri Pertahanan Lloyd Austin menuntut, antara lain, komitmen tertulis bahwa Israel tidak akan melakukan pengepungan di wilayah utara Gaza sesuai dengan apa yang biasa disebut sebagai "Rencana Umum".
Netanyahu dikabarkan telah memberikan jaminan tersebut secara lisan, namun menolak untuk berkomitmen secara terbuka.
Surat tersebut juga meminta Israel untuk mengizinkan setidaknya 350 truk bantuan masuk ke Gaza setiap hari, membuka penyeberangan kelima, mengizinkan orang-orang yang terjebak di kamp-kamp pengungsian di pesisir pantai untuk pindah ke daratan sebelum musim dingin, mengizinkan lembaga-lembaga bantuan untuk masuk ke utara Gaza, yang mengalami pengepungan di dalam pengepungan, dan menghentikan pelaksanaan undang-undang baru-baru ini yang menghalangi badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) untuk beroperasi di Jalur Gaza.
Pembangkangan Israel
Dalam perkembangan terkait, delapan organisasi bantuan internasional, termasuk Save the Children dan Refugees International, mengeluarkan pernyataan yang menyatakan penyesalan bahwa Israel tidak hanya gagal memenuhi kriteria yang menunjukkan perbaikan situasi kemanusiaan di Gaza, tetapi juga telah mengambil tindakan yang "secara dramatis memperburuk situasi di lapangan, terutama di Gaza utara."
"Situasinya sekarang sudah sangat memprihatinkan," tulis Louise Wateridge, pejabat darurat senior UNRWA, dalam sebuah pesan dari utara Gaza.
"Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan kesengsaraan dan penderitaan yang menimpa orang-orang di sini. Orang-orang berebut sekantong tepung. Keluarga-keluarga ... mengemis untuk mendapatkan air. Sama sekali tidak ada rasa kemanusiaan di sini," katanya.
Kondisi di Gaza sangat memprihatinkan.
Selain membunuh lebih dari 43.700 orang, Israel juga telah memaksa sekitar 90 persen penduduk Gaza meninggalkan rumah mereka untuk menghadapi kenyataan sehari-hari berupa kelaparan dan penyakit di kamp-kamp pengungsian yang sering dibom.
PBB mengatakan bahwa Israel membatasi jumlah truk bantuan yang diizinkan masuk ke daerah kantong yang diblokade tersebut hingga mencapai titik terendah sepanjang masa pada Oktober.
Sejak Oktober, Israel telah memperparah tantangan distribusi bantuan, membagi daerah kantong tersebut menjadi dua, dengan sekitar 69.000 orang di utara garis pengepungan Israel, Koridor Netzarim, diblokir untuk mengakses bantuan yang mereka butuhkan untuk hidup.
Komite Tetap Antar-Lembaga PBB telah menemukan bahwa seluruh penduduk Gaza utara berada dalam "risiko kematian yang sangat besar akibat penyakit, kelaparan, dan kekerasan".
Kondisi di bagian selatan hanya sedikit lebih baik, di mana penyakit menyebar, makanan terbatas, dan ribuan keluarga berdesak-desakan dalam kondisi penampungan yang mengerikan, demikian ungkap para pekerja bantuan di Gaza kepada Al Jazeera.
AS membela Israel
Amerika Serikat dengan ramah mengumumkan pada Selasa bahwa Israel, tentu saja, tidak melanggar hukum AS terkait masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza. Namun, mereka menyebutkan bahwa masih diperlukan lebih banyak upaya untuk memperbaiki situasi di lapangan.
Israel telah melakukan beberapa langkah untuk sedikit meningkatkan bantuan dalam beberapa minggu terakhir dan memperluas "zona kemanusiaan" yang diberlakukannya yang sering menjadi sasaran pengeboman, meskipun ada ribuan keluarga pengungsi yang berlindung di sana.
Setelah tampaknya menyerahkan segala sesuatunya pada menit-menit terakhir, kabinet keamanan Israel bertemu pada hari tenggat waktu yang ditetapkan AS pada hari Selasa untuk menyetujui langkah-langkah untuk memenuhi persyaratan AS.
Dalam pertemuan tersebut, beberapa menteri berpendapat bahwa tidak perlu melakukan upaya seperti itu karena mereka memperkirakan Presiden AS yang akan datang, Donald Trump, "tidak mungkin menerapkan embargo senjata apa pun terhadap Israel, terutama pada hari-hari pertamanya menjabat".
"Kabinet ini terdiri dari orang-orang yang lebih suka orang-orang di Gaza 'beremigrasi secara sukarela'," ujar Mairav Zonszein, analis senior Israel di International Crisis Group, merujuk pada eufemisme yang sering digunakan oleh beberapa anggota kabinet untuk pemindahan paksa demi membangun pemukiman ilegal Israel.
"Ini [upaya kabinet keamanan] adalah langkah sementara untuk menghindari [Presiden AS Joe] Biden menempatkan lebih banyak pembatasan [terhadap Israel]. Namun, hal itu ternyata tidak terjadi," kata Zonszein.
Garis-garis merah diabaikan
Selama 13 bulan perang di Gaza, Israel telah mengabaikan peringatan dan keprihatinan yang disampaikan AS, bahkan yang dikeluarkan atas pembunuhan warganya, sementara AS terus memasok senjata ke Israel.
Pada Oktober, sebuah investigasi yang dilakukan oleh kantor berita Reuters menemukan bahwa para pejabat senior AS telah memperingatkan pemerintahan Biden mengenai potensi kejahatan perang Israel beberapa hari setelah dimulainya perang setahun sebelumnya. Namun, AS terus menekankan dukungan yang tak tergoyahkan untuk Israel.
Pada September, seorang pejabat senior AS dikabarkan memperingatkan Netanyahu untuk tidak menginvasi Lebanon, yang akhirnya dilakukan Israel pada bulan berikutnya, menewaskan sekitar 3.400 orang sejauh ini dan membuat lebih dari 1,2 juta orang kehilangan tempat tinggal.
AS "telah membantu dan bersekongkol dengan genosida Israel terhadap Palestina yang melanggar Konvensi Genosida Pasal 3(e) [dan] Undang-Undang Pelaksanaan Konvensi Genosida Amerika Serikat sendiri", yang berpotensi membuat Washington melanggar hukumnya sendiri dan hukum internasional, kata pengacara hak asasi manusia internasional, Francis Boyle, kepada Al Jazeera.
Meski tidak menindaklanjuti langkah-langkah yang diuraikan dalam ultimatum Oktober, AS memperingatkan Israel di PBB agar tidak melakukan "pemindahan paksa" terhadap penduduk Gaza utara atau "kebijakan kelaparan". Sayangnya, tidak ada konsekuensi yang disebutkan.
AL JAZEERA | AL MAYADEEN