TEMPO.CO, Jakarta - Turnamen BWF World Tour Super 1000 All England 2025 berakhir dengan hasil yang jauh dari harapan bagi bulu tangkis Indonesia. Dari 11 wakil yang bertanding tak satupun yang mampu membawa pulang gelar juara.
Hasil ini bukan sekadar kekalahan, tetapi alarm keras bagi pembinaan bulu tangkis nasional yang selama ini dikenal sebagai salah satu kekuatan utama di dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kegagalan juga datang dari sektor ganda putra, yang selama bertahun-tahun menjadi andalan. Pasangan ganda putra Leo Rolly Carnando / Bagas Maulana menjadi wakil terjauh Indonesia di turnamen ini dengan menembus final. Namun, mereka harus puas menjadi runner-up setelah dikalahkan pasangan Korea Selatan, Kim Won-ho/Seo Seung-jae, dengan skor 19-21, 19-21.
Lebih mengecewakan, dua juara bertahan dari tahun sebelumnya, Jonatan Christie di sektor tunggal putra dan pasangan Fajar Alfian / Muhammad Rian Ardianto di ganda putra, justru tersingkir di babak kedua. Ini menjadi pukulan telak, terutama setelah PBSI mengklaim bahwa persiapan menghadapi All England 2025 sudah dilakukan dengan matang.
Sejak lama, Indonesia menjadi salah satu kekuatan utama di All England dengan total 52 gelar juara. Tradisi juara ini bahkan sempat terjaga di sektor ganda sejak 2016, kecuali pada 2021 akibat pandemi COVID-19.
Namun, tren positif itu kini terhenti, menandakan ada persoalan mendasar dalam sistem pembinaan. Salah satu indikasi stagnasi terlihat dari makin sulitnya pemain Indonesia bersaing di level tertinggi. Fajar / Rian yang diharapkan bisa mempertahankan gelar justru gagal menunjukkan konsistensi.
Ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai kesiapan mental dan strategi mereka dalam menghadapi tekanan sebagai juara bertahan.
Selain itu, fakta pasangan non-pelatnas, Sabar Karyaman Gutama / Muhammad Reza Pahlevi, mampu melaju hingga semifinal makin menegaskan adanya masalah dalam sistem pembinaan. Jika atlet yang berlatih secara mandiri bisa mencapai hasil lebih baik daripada mereka yang dibina langsung oleh PBSI, maka evaluasi terhadap pola pelatihan dan manajemen tim nasional menjadi keharusan.
PBSI sebenarnya telah merancang roadmap kepelatihan 2025 dengan tujuan utama Olimpiade Los Angeles 2028. Para pelatih diberi kebebasan bereksperimen dengan pasangan ganda, dan diharapkan pada 2026, kombinasi yang lebih stabil dapat terbentuk. Namun, hasil di turnamen-turnamen awal 2025 masih jauh dari harapan.
Dari tujuh turnamen dalam kalender BWF musim 2025 yang telah berlangsung, hanya satu gelar yang diraih Indonesia melalui ganda putri Siti Fadia Silva Ramadhanti/Lanny Tria Mayasari di Thailand Masters 2025. Selebihnya, wakil Indonesia pulang dengan tangan hampa, termasuk di All England.
Negara Lain Melesat
Sementara Indonesia kesulitan meraih gelar, negara-negara pesaing makin menunjukkan perkembangan pesat. Korea Selatan mendominasi dengan 11 gelar sepanjang musim 2025 di tur BWF, diikuti Jepang dan Thailand masing-masing lima gelar, serta China dengan empat gelar.
Mereka tampaknya menerapkan strategi regenerasi yang efektif, inovasi dalam pola latihan, serta pemanfaatan sport science untuk meningkatkan performa atlet.
Dari segi teknis, pebulu tangkis Indonesia masih memiliki kelemahan dalam hal ketahanan fisik dan adaptasi strategi. Banyak pemain terlihat kehabisan tenaga saat memasuki gim penentuan, menunjukkan perlunya peningkatan dalam program kebugaran dan pola makan atlet. Kurangnya variasi permainan juga membuat strategi mereka mudah terbaca oleh lawan.
Secara mental, tekanan sebagai negara dengan sejarah panjang di All England justru seperti menjadi beban tersendiri. Para pemain terlihat kurang percaya diri dalam momen-momen krusial, yang akhirnya berdampak pada hasil pertandingan.
Momentum Perubahan Indonesia
Hasil kurang memuaskan di All England 2025 ini seharusnya menjadi momentum bagi PBSI untuk melakukan reformasi dalam sistem pembinaan atlet.
Investasi dalam teknologi analisis pertandingan, pengembangan sport science, serta peningkatan kualitas pelatih harus menjadi prioritas utama. Tidak cukup hanya mengandalkan bakat alami tanpa dukungan sistem yang baik.
PBSI juga perlu lebih terbuka terhadap sistem pembinaan. Menerima masukan-masukan dari pihak luar dan berbenah.
Jika atlet yang berlatih secara mandiri bisa meraih hasil lebih baik, PBSI perlu membuka pintu bagi mereka. Pembinaan tidak boleh eksklusif hanya untuk pemain pelatnas, tetapi harus berbasis meritokrasi agar talenta terbaik dapat berkembang.
Ini juga akan menjadi langkah strategis untuk memperluas sumber daya pemain berkualitas di luar pelatnas.
Target jangka panjang menuju Olimpiade Los Angeles 2028 memang penting, tetapi performa di turnamen besar seperti All England juga tak boleh diabaikan.
Masih banyak turnamen besar yang menanti. Seperti di turnamen level Super 1000 yakni Indonesia Open (3-8 Juni) dan China Open (22-27 Juli). Untuk level 750 juga masih ada lima turnamen yang menanti yaitu, Singapore Open (27 Mei-1 Juni), Japan Open (15-20 Juli), China Masters (16-21 September), Denmark Open (14-19 Oktober), dan France Open (21-26 Oktober).
Belum lagi turnamen-turnamen lainnya termasuk ajang beregu Piala Sudirman yang tak lama lagi bergulir di Xiamen Olympic Sports Center, China pada 27 April-4 Mei mendatang dan juga Kejuaraan Dunia 2025 di Paris, Prancis, pada 25-31 Agustus.
Publik menginginkan kemenangan di setiap ajang bergengsi, dan PBSI harus menemukan solusi agar tradisi juara Indonesia tidak semakin terkikis di kancah internasional.
Performa Indonesia di All England dalam Enam Tahun Terakhir
2020: 1 gelar juara (Praveen Jordan Melati / Daeva Oktavianti)
2021: gagal juara
2022: 1 gelar juara (Muhammad Shohibul Fikri / Bagas Maulana)
2023: 1 gelar juara (Fajar Alfian / Muhammad Rian Ardianto)
2024: 2 gelar juara (Jonatan Christie, Fajar Alfian / Muhammad Rian Ardianto)
2025: gagal juara.