TEMPO.CO, Jakarta - Satu dekade silam, prahara di internal Partai Golkar terjadi. Pada Rabu, 7 Januari 2015, politukus Golkar, Akbar Tanjung, menemui Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Pertemuan itu dilakukan 24 sebelum perundingan damai Golkar yang mengalami masalah internal soal keputusan partai beringin masuk pemerintahan Jokowi atau tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengenakan batik motif cokelat tua, ia datang satu jam lebih awal daripada Agung Laksono, yang sore itu juga ingin bertemu dengan Jokowi.
Ketua Dewan Pertimbangan Golkar hasil Musyawarah Nasional Bali itu berusaha meyakinkan Jokowi bahwa ribut-ribut di lingkup internal partai beringin tak akan merusak hubungan Golkar dengan pemerintah.
Golkar, kata dia, tidak mau dianggap partai yang melulu menentang pemerintah. "Golkar akan menjadi partai pendukung kebijakan pemerintah yang prorakyat," ujar Akbar menceritakan kembali pertemuannya dengan Jokowi itu kepada Tempo, dalam laporan berita Majalah Tempo edisi 12-18 Januari 2015. Selengkapnya baca di sini.
Dukungan itu, Akbar melanjutkan, agar Jokowi tak salah memahami islah Golkar. Menurut dia, kedatangannya itu tak mewakili sikap partai. Bahkan, kata dia, pertemuannya selama 30 menit dengan presiden tanpa setahu Aburizal Bakrie. "Ini inisiatif pribadi," ujarnya.
Dukungan kepada pemerintah memang menjadi salah satu poin dalam perundingan damai dua kubu di lingkup internal Golkar yang pada saat itu terlibat dualisme antarkubu.
Kepengurusan Ical—sapaan Aburizal—berkeras tetap berada di Koalisi Merah Putih, barisan partai pendukung Prabowo Subianto, yang menjadi oposisi pemerintah di parlemen.
Sedangkan kubu Agung Laksono, yang terpilih lewat Munas Ancol, Jakarta, menginginkan Golkar "angkat kaki" dari koalisi pro-Prabowo.
Hingga perundingan kedua pada Kamis, 8 Januari 2015, dua kubu tersebut masih belum bersepakat mengenai posisi Golkar di koalisi.
Kepada Tempo, seorang pengurus Golkar versi Munas Bali yang juga kolega Akbar bercerita, motif Akbar bertandang ke Istana justru untuk merebut kembali simpati kubu Agung.
Sejak Munas Bali, menurut sumber ini, Agung tak pernah mengangkat panggilan telepon dari Akbar. Agung juga tak pernah merespons ajakan Akbar untuk bertemu.
Walhasil, hubungan Akbar dengan pengurus hasil Munas Ancol tak lagi cair. Penolakan itu, kata dia, membuat Akbar galau. "Ia tak ingin jangkar politiknya di daerah hilang," ujar sumber ini.
Motif lain, kata sumber itu, Akbar risau akan kalkulasi perolehan suara Golkar pada Pemilihan Umum 2019.
Menurut Musfihin Dahlan, Wakil Sekretaris Jenderal Golkar kubu Ical, hampir tiap hari Akbar menerima keluh-kesah dari pengurus daerah, yang kebanyakan juniornya di Himpunan Mahasiswa Islam.
Menurut mereka, dualisme kepengurusan di tingkat pusat telah menyulitkan Golkar menyiapkan calon buat pemilihan kepala daerah.
Akbar ingin mengembalikan keutuhan serta kekuatan Golkar demi menghadapi pilkada sekaligus Pemilu 2019. Opsi yang disodorkan Akbar kepada kedua kubu: menggelar munas bersama untuk menggelar ulang pemilihan ketua umum.
Akan tetapi, usul itu tak disambut baik oleh dua kubu. Wakil Ketua Umum Golkar kubu Ical, M.S. Hidayat, mengatakan, selain memakan biaya dan waktu yang lama, hasil munas gabungan bakal sulit diprediksi. "Arahnya bisa liar," ujar Hidayat.
Sedangkan Zainudin Amali, Sekretaris Jenderal Golkar kubu Agung Laksono, berpendapat opsi munas ulang bakal memantik keributan baru.