“Layarku tinggal sobekan kafan. bilangan matematika makin meluncur jauh
dan tercium bau kamboja di lembar-lembar usia dan sisa-sisa doa
dan Engkau terus melambai juga memaksaku menggelepar sendiri…”
Nukilan puisi karya Tjahjono Widarmanto itu memancarkan atmosfer melankolis yang menuntun pembaca memasuki ruang sunyi antara hidup dan mati. Puisi tersebut menghadirkan suasana kental dengan aroma kematian, di mana bunga kamboja menjadi lambang keabadian dan perpisahan.
Kamboja senyatanya memang sering tumbuh di sekitar makam, dan itu dipersonifikasikan sebagai saksi bisu antara dunia yang hidup dan yang telah tiada. Simbol kafan menandakan batas terakhir perjalanan manusia, sementara aroma kamboja menghadirkan harmoni antara kehilangan dan ketenangan.
Melalui diksi-diksinya yang padat makna, puisi ini seakan mengajak pembacanya merenungi hakikat kehidupan yang perlahan menuju kefanaan, ketika waktu berhenti dihitung dan segala doa menjadi satu-satunya bahasa yang tersisa di antara manusia dan Tuhannya.
***
Di banyak tempat di Jawa dan Bali, hampir setiap makam biasanya diteduhi oleh pohon kamboja. Kamboja (Plumeria), sebenarnya merupakan bagian dari lanskap spiritual masyarakat tropis, simbol antara yang hidup dan yang telah berpulang. Dalam tradisi lokal, kamboja dipercaya menghadirkan keseimbangan: harum yang menenangkan di tengah suasana duka, dan keindahan yang tetap ada meski kelopaknya terus berguguran.
Secara ilmiah, tanaman ini memiliki keunikan tersendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Luh Putu Wrasiati dan rekan-rekannya (2011) di Jurnal Biologi Udayana menunjukkan bahwa berbagai jenis kamboja mengandung tannin, fenol total, dan vitamin C yang tinggi. Senyawa-senyawa itu bukan hanya memberi aroma khas dan warna cantik pada kelopaknya, tetapi juga berperan sebagai antioksidan alami.
Kajian lain oleh Ahmad Fathoni, Tarso Rudiana, dan Adawiah (2012) di Jurnal Pendidikan Kimia memperkuat temuan itu. Mereka membuktikan bahwa ekstrak bunga kamboja kuning memiliki aktivitas antioksidan kuat, terutama pada pelarut etil asetat dan metanol.
Selain sebagai antioksidan, bunga kamboja juga menyimpan potensi antibakteri. Hana Yuniestica Sinaga dan Made Krisna Adi Jaya (2022) menemukan bahwa kandungan terpenoid, saponin, fenol, dan flavonoid di dalam kelopaknya mampu melawan bakteri gram positif dan negatif. Penelitian-penelitian tersebut menegaskan bahwa di balik kesan mistisnya, kamboja sebenarnya adalah tanaman ilmiah yang kaya manfaat bagi kesehatan.
Namun di luar sisi ilmiahnya, bunga Kamboja memiliki kehidupan yang lain, kehidupan yang terpatri dan mengakar kuat dalam budaya. Dalam pandangan masyarakat Jawa, kehadiran kamboja di area pemakaman melambangkan kesetiaan dan ketenangan arwah. Bunga yang terus mekar dan gugur di tempat itu seakan menjadi tanda bahwa kehidupan berjalan terus, bahkan setelah kematian. Kompas (2024) pernah menurunkan tulisan di mana aroma kamboja yang kerap muncul di pemakaman dianggap sebagai simbol kehadiran roh, sebuah pengingat halus bahwa batas antara dunia fana dan baka tidak sepenuhnya tertutup.
Di Bali, makna kamboja lebih sakral lagi. Ia digunakan sebagai bagian dari persembahan umat Hindu, melambangkan kemurnian dan hubungan manusia dengan Tuhan. Artikel di Unews (2022) menyebut bahwa bunga kamboja putih sering diletakkan dalam sesajen sebagai lambang kesucian Dewa Siwa. Di sini, kamboja menjadi perantara antara manusia dan kekuatan ilahi—harum yang membawa doa menuju langit.
Dalam tradisi Buddha pun, bunga kamboja memiliki nilai spiritual yang mendalam. Ia mewakili kefanaan dan keindahan hidup yang sementara. Ketika kelopak itu mekar penuh hanya untuk kemudian gugur, ia mengajarkan tentang ketidakkekalan—bahwa hidup, seperti bunga, adalah perjalanan singkat menuju keheningan.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Arabella Febiola Armani dan Ratna Frida Susanti (2023) di Jurnal Teknologi Industri Pertanian memperlihatkan bahwa bunga kamboja putih (Plumeria obtusa) mengandung berbagai senyawa volatil yang menjadi sumber aroma menenangkan. Mereka meneliti ekstraksi minyak esensialnya menggunakan dua metode—superkritis CO₂ dan soxhlet—dan menemukan hasil menarik: aroma khas kamboja berasal dari kombinasi kompleks senyawa alami yang sekaligus memiliki nilai terapeutik.
Di luar makna-makna ilmiah dan religiusnya, kamboja tetap menyimpan filosofi kehidupan yang menyentuh. Kelopak yang mekar di pagi hari lalu gugur di sore hari seakan menegaskan bahwa keindahan sejati tidak selalu abadi. Ia hanya hadir sesaat—cukup untuk meninggalkan wangi, lalu menghilang dengan tenang. Seperti manusia yang hidup untuk meninggalkan kebaikan, bukan keabadian.
Karena itu, kamboja tidak semestinya dipandang sebagai simbol kematian semata. Ia justru bunga tentang kehidupan—tentang kenangan, penghormatan, dan transendensi. Di bawah pohon kamboja, antara harum dan hening, manusia diingatkan bahwa kehilangan bukan akhir dari segalanya. Masih ada wangi yang tertinggal, dan di situlah, kehidupan yang sejati menemukan maknanya. [*] Disarikan dari berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.