REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG - Marisza Cardoba, seorang penyintas autoimun menceritakan pengalamannya yang hanya bisa aktif beraktivitas selama empat hingga lima jam. Namun, dengan dukungan dari berbagai pihak, ia akhirnya dapat bertahan dan lepas dari obat-obatan.
"Saya seorang penyintas juga yang dulu bisa aktif 4 sampai 5 jam saja. Tapi, dengan kesempatan dan dukungan yang diberikan, juga menjalani pengobatan medis yang intens, ditambah perubahan perilaku, pola hidup sehat, dan pola makan sehat. Alhamdulillah saya sudah remisi," ucap dia belum lama ini.
Kondisi remisi, kata dia, adalah kondisi tubuh seorang penyintas autoimun yang dapat bertahan tanpa obat-obatan. Marisza mengatakan, kondisi tersebut diperoleh usai menjalani pola hidup sehat yang intens.
"Remisi itu adalah kondisi di mana tubuh seorang penyintas autoimun bisa bertahan tanpa obat-obatan, tapi tentu setelah menjalani rangkaian pola hidup sehat yang intens,” ucap Marisza yang merupakan pendiri Marisza Cardoba Foundation dan autoimun.id.
Di Amerika Serikat, ia menjelaskan autoimun diumumkan sebagai peringkat ketiga penyakit mematikan yang menyerang 15,5 persen dari total penduduk. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia perlu waspada.
Selain itu, sekitar 90 persen penyintas autoimun merupakan perempuan usia produktif hingga akhirnya kehilangan waktu produktif. “Kami berharap dengan semakin berkembangnya kesadaran masyarakat tentang autoimun," kata dia.
Di tengah aktivitasnya, ia pun menggelar Jazz Night A Tribute to Autoimmune Survivors in Indonesia. Sejumlah penampil hadir dari The Jazz Traveller yang diisi musisi Rio Sidik, Rudy Zulkarnain, Agam Hamzah, Nadine, serta Shayna.
Kegiatan tersebut digelar, ia menyebut rangkaian dari bulan peduli autoimun nasional yang jatuh pada bulan September. Penyakit autoimun sendiri merupakan kondisi ketika sistem kekebalan tubuh keliru menyerang sel dan jaringan tubuh sendiri.
Hingga kini, telah teridentifikasi lebih dari 80 jenis penyakit autoimun, di antaranya lupus (Systemic Lupus Erythematosus), rheumatoid arthritis, psoriasis, dan scleroderma. Prevalensi lupus di Indonesia sendiri diperkirakan mencapai 0,5–1,7 persen populasi, atau lebih dari 1,3 juta orang, dengan mayoritas penderita adalah wanita usia produktif (15–45 tahun).
Marisza mengaku ingin terus memberikan dukungan bagi para penyintas autoimun di Indonesia. Sekaligus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memahami penyakit autoimun, kondisi yang sering kali masih disalahartikan dan butuh mendapat perhatian publik.
"Pesan inti dari kegiatan ini adalah kami ingin lebih menggaungkan lagi perihal autoimun supaya masyarakat di seluruh Indonesia sadar bahwa autoimun itu ada di sekeliling kita, tidak perlu ditakuti, tapi juga tidak bisa dianggap sepele," kata dia.
Wali Kota Bandung M Farhan mengatakan akan memberikan dukungan kepada para penyintas autoimun. Sekaligus memberikan pesan bahwa mereka tidak sendiri.
"Kepada penyintas autoimun, yang terpenting adalah jangan pernah berhenti untuk berusaha dan mengedukasi kita. Kita yang tidak tahu atau tidak banyak tahu. Terima kasih sudah berjuang,” kata dia.