Presiden Venezuela Nicolas Maduro.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amerika Serikat (AS) sejak lama menyimpan ambisi besar: menangkap Presiden Venezuela, Nicolás Maduro. Bagi Washington, pria berkumis tebal itu bukan sekadar pemimpin negara jauh di Amerika Selatan, melainkan sosok yang dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia, penghancuran tatanan demokrasi, hingga dugaan keterlibatan dalam kejahatan lintas negara.
Di mata AS, pemerintahan Maduro bukan sekadar rezim otoriter yang keras kepala, tapi ancaman nyata bagi stabilitas regional dan kepentingan strategisnya di belahan selatan dunia. Tekanan pun datang bertubi-tubi, dari sanksi ekonomi yang melumpuhkan, tekanan diplomatik yang membuat Caracas terisolasi, hingga dakwaan kriminal yang menjadikannya buronan internasional paling diburu abad ini.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.Salah satu alasan paling kuat di balik perburuan itu adalah tuduhan keterlibatan Maduro dalam jaringan perdagangan narkoba internasional. Pada Maret 2020, Departemen Kehakiman AS secara resmi mendakwa Maduro dan belasan pejabat senior Venezuela dengan tuduhan “narkoterorisme.” Tuduhan yang bukan main-main, karena menyentuh jantung kedaulatan sebuah negara.
Jaksa Agung AS saat itu, William Barr, menuding Maduro bekerja sama dengan kelompok teroris FARC dari Kolombia untuk membanjiri Amerika dengan kokain. Pemerintah AS bahkan menawarkan hadiah sebesar 15 juta dolar AS, setara lebih dari dua ratus miliar rupiah, bagi siapa pun yang bisa memberikan informasi yang mengarah pada penangkapannya. Tuduhan itu menjadi pijakan hukum sekaligus pembenaran moral bagi Washington untuk memburu Maduro di mana pun ia berada.
Namun, urusan AS dengan Caracas bukan semata soal narkoba. Washington juga menuduh Maduro secara sistematis meruntuhkan institusi demokrasi di negerinya demi mempertahankan kekuasaan. Pembentukan Majelis Konstituante Nasional pada 2017 yang dianggap ilegal menjadi salah satu bukti kuat di mata AS bahwa Maduro telah menafikan prinsip pemisahan kekuasaan dan menindas suara rakyat.
Pemilihan presiden Venezuela pada 2018 pun menjadi babak baru dalam konflik panjang itu. AS bersama puluhan negara menolak hasilnya dan menyebutnya penuh kecurangan. Sebaliknya, Washington mengakui tokoh oposisi Juan Guaidó sebagai presiden sementara, sebuah langkah yang oleh Maduro disebut sebagai upaya kudeta terselubung dengan dukungan penuh dari AS.

 8 hours ago
                                10
                        8 hours ago
                                10
                    










































