
Di tengah gencarnya digitalisasi ekonomi nasional, sebuah inovasi unik lahir dari Universitas Muhammadiyah Karanganyar (Umuka). Melalui program hibah BIMA Kemdiktisaintek 2025, tim dosen dan mahasiswa Umuka mengembangkan sistem pembayaran QRIS tanpa handphone berbasis artificial intelligence (AI), internet of things (IoT), dan biometric key. Proyek ini tidak hanya sekadar penelitian teknologi, lebih dari itu juga merupakan program pengabdian masyarakat (PKM) yang secara nyata diimplementasikan di Pondok Pesantren Modern Imam Syuhodo, Polokarto, Sukoharjo.
Di pesantren yang berlokasi di Jl. KH. Ahmad Dahlan No. 154 itu, kini berdiri satu unit mesin kios-k pintar berwarna putih dengan layar sentuh dan pemindai kartu RFID. Di depannya, santri tampak mencoba menempelkan kartu sambil tersenyum kagum ketika layar menampilkan tulisan “Transaksi Berhasil”. Inilah wujud nyata sistem PESANTRIS – Pembayaran Santri Praktis, hasil karya tim lintas disiplin dari Umuka.
Ketua Tim Pengabdian, Erwin Apriliyanto, S.Kom., M.Kom, menjelaskan bahwa gagasan awal program ini lahir dari keprihatinan terhadap kesenjangan akses digital di masyarakat, khususnya di lingkungan pendidikan berbasis asrama seperti pesantren. “Banyak santri belum memiliki smartphone, sementara transaksi di lingkungan pesantren semakin kompleks dari kantin, koperasi, laundry, hingga administrasi sekolah. Karena itu kami pikir, bagaimana agar mereka tetap bisa menikmati kemudahan pembayaran digital tanpa harus punya ponsel,” terang Erwin saat ditemui di lokasi implementasi.
Dari ide itulah tim Umuka merancang sistem yang memungkinkan transaksi dilakukan hanya dengan kartu RFID dan autentikasi sidik jari. Teknologi ini memanfaatkan jaringan IoT untuk menghubungkan mesin pembayaran dengan server berbasis cloud, yang mencatat setiap transaksi secara otomatis dan aman.
Pertama di Lingkungan Pesantren
Sistem pembayaran ini menggunakan standar QRIS (quick response code Indonesian standard), namun dimodifikasi agar tidak bergantung pada ponsel pengguna. Biasanya, QRIS mengharuskan pengguna membuka aplikasi e-wallet di smartphone. Di sistem ini, user cukup menggunakan kartu pintar (smart RFID) yang sudah terdaftar dan terhubung dengan akun mereka. Identitas dan saldo pengguna tersimpan aman di basis data terintegrasi. “QRIS tetap menjadi tulang punggung, karena kami ingin tetap kompatibel dengan sistem pembayaran nasional. Bedanya, di sini QRIS dijembatani oleh perangkat AI-IoT yang kami kembangkan, sehingga santri cukup menempelkan kartu, dan sistem otomatis memproses transaksi secara real-time,” tambah Wakhid Kurniawan, M.Kom, dosen Informatika Umuka yang bertanggung jawab di bidang pengembangan perangkat keras dan perangkat lunak.
Inovasi ini merupakan hasil riset berkelanjutan sejak 2022, yang awalnya berfokus pada teknologi cashless system berbasis IoT dan biometric key. Hasil riset tersebut kemudian dikembangkan menjadi produk konkret dalam bentuk mesin pembayaran yang kini dipasang di Pondok Pesantren Imam Syuhodo. Tahapan implementasi program mencakup survei kebutuhan mitra, dengan mengidentifikasi masalah transaksi tunai di pesantren. Tahap selanjutnya perancangan sistem berupa integrasi RFID, biometrik, dan cloud. Kemudian pelatihan pengguna meliputi edukasi digital bagi pengelola pesantren dan santri. Selanjutnya uji coba lapangan melalui simulasi transaksi harian. Dilanjutkan pendampingan dan evaluasi untuk memastikan sistem berjalan stabil.
Tim juga melakukan sosialisasi tentang literasi keuangan digital kepada para santri dan pengelola pesantren, agar pemanfaatan sistem ini tidak hanya sebatas teknologi, tetapi juga mengubah pola pikir menuju budaya transaksi modern. Sebelum sistem ini diterapkan, seluruh transaksi di pesantren masih dilakukan secara manual dan tunai. Santri membawa uang saku dalam jumlah tertentu, kemudian menggunakannya untuk berbelanja di kantin, koperasi, atau membayar kegiatan.
Kondisi itu menimbulkan berbagai risiko: uang hilang, rawan pencurian, hingga sulitnya pengawasan dari orangtua. Dengan sistem pembayaran digital tanpa handphone, setiap transaksi kini terekam otomatis, orangtua bisa memantau pengeluaran anak melalui sistem yang terhubung dengan perbankan nasional. “Sekarang wali santri bisa melakukan top-up saldo dari mana saja, dan memantau pengeluaran anak-anaknya lewat aplikasi berbasis web,” jelas Romi Iriandi Putra, M.I.Kom, anggota tim yang menangani aspek komunikasi dan publikasi program.
“Selain itu, pesantren juga lebih mudah mengelola keuangan karena semua transaksi tercatat secara digital dan transparan.”
Program ini sejalan dengan visi pemerintah dalam mendorong inklusi keuangan digital dan transformasi ekonomi syariah. Menurut data Bank Indonesia, hingga 2024 pengguna QRIS di Indonesia mencapai lebih dari 45 juta, namun sebagian besar masih terbatas pada pengguna smartphone.
Pesantren sebagai salah satu pusat pendidikan terbesar di Indonesia memiliki potensi besar dalam memperluas ekosistem digital. Dengan lebih dari 376 pesantren di wilayah Soloraya, inisiatif ini diharapkan menjadi model replikasi bagi lembaga pendidikan Islam lainnya. “Kami ingin menjadikan Pondok Pesantren Imam Syuhodo sebagai pilot project. Ke depan, sistem ini bisa diadopsi pesantren lainnya, koperasi sekolah, bahkan lembaga pendidikan umum,” ujar Erwin.
Mahasiswa Terlibat
Salah satu nilai tambah program ini adalah keterlibatan mahasiswa lintas prodi. Mahasiswa Teknik Komputer dan Informatika berperan dalam pengembangan perangkat keras serta sistem RFID-Biometric, sementara mahasiswa Ilmu Komunikasi bertugas membuat konten sosialisasi, dokumentasi video, dan publikasi media.

Beberapa mahasiswa yakni Amirullah Moh Rumuntoha, Abdul Aziz Al Arief, Mariyanto, Abid Nashiruddin, dan Isnaini Umi Mutiah, turut aktif di lapangan. Mereka tidak hanya membantu implementasi sistem, tapi juga mendampingi santri dan ustaz dalam pelatihan. “Ini benar-benar pengalaman belajar di luar kampus yang nyata. Kami tidak hanya coding atau membuat sistem di lab, tapi juga melihat bagaimana teknologi bisa membantu masyarakat secara langsung,” tutur Amirullah, salah satu mahasiswa Teknik Komputer yang terlibat dalam tim.
Program ini sekaligus menjadi bagian dari Indikator Kinerja Utama (IKU) Perguruan Tinggi, di mana mahasiswa mendapat pengalaman nyata di luar kampus dan dosen terlibat langsung dalam kegiatan pengabdian masyarakat.
Sistem pembayaran ini memadukan tiga teknologi utama yaitu RFID Card (radio frequency identification) yang digunakan sebagai media transaksi pengganti uang tunai. Kemudian biometric key, verifikasi keamanan berbasis sidik jari atau wajah untuk mencegah penyalahgunaan. Selanjutnya AI-IoT cloud system, merupakan sistem otomatis yang memproses dan menyimpan data transaksi secara daring.
Mesin pembayaran (kios-k) dilengkapi layar sentuh 13 inci, pemindai RFID, printer mini untuk struk, dan koneksi 4G LTE. Semua perangkat dirakit oleh tim Umuka dengan komponen yang efisien dan biaya terjangkau. Kartu RFID yang digunakan pun tahan lama dan dapat disesuaikan dengan desain identitas pesantren. “Kami ingin teknologi ini tidak hanya canggih, tapi juga realistis dan bisa diterapkan di banyak tempat. Karena itu, semua komponen dirakit mandiri dengan biaya efisien,” jelas Wakhid.
Program ini merupakan hasil pendanaan dari Direktorat Riset, Teknologi, dan Pengabdian kepada Masyarakat (DRTPM) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui platform BIMA (Basis Informasi Manajemen Pengabdian kepada Masyarakat). Total hibah yang diterima untuk tahun pertama mencapai Rp 49.981.670, dengan fokus utama pada aspek teknologi dan inovasi (52%), disusul biaya pelatihan dan pendampingan.
Pendanaan tersebut digunakan untuk pengadaan modul biometric, RFID reader, printer thermal, serta pembangunan kios-k pembayaran yang kini berdiri di area Pusat Informasi & Administrasi Pondok Imam Syuhodo. Tim juga menggunakan sebagian dana untuk pelatihan dan produksi konten video edukatif yang diunggah ke laman resmi LPPM Umuka.
Sinergi Akademisi dan Pesantren
Kerja sama antara Umuka dan Pondok Pesantren Imam Syuhodo bukanlah yang pertama. Selama ini, pesantren tersebut dikenal sebagai lembaga pendidikan modern Muhammadiyah yang terbuka terhadap inovasi teknologi, tanpa meninggalkan nilai-nilai keislaman. Menurut Agus Susilo, S.Pd.I, pimpinan pesantren, kolaborasi ini menjadi langkah nyata dalam modernisasi sistem pendidikan Islam.
“Kami bersyukur bisa menjadi mitra kampus. Santri kami tidak hanya belajar ilmu agama, tapi juga melihat langsung bagaimana teknologi bisa bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari,” katanya.“Sekarang, mereka bisa belajar manajemen keuangan dengan cara baru yang lebih aman dan efisien,” Agus menambahkan.
Penerapan QRIS tanpa handphone di pesantren juga menjadi bagian dari upaya mendukung ekonomi syariah digital Indonesia. Menurut Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, potensi transaksi syariah digital nasional terus meningkat, terutama dari sektor pendidikan dan UMKM. Dengan sistem seperti ini, pesantren berpeluang menjadi pusat digital finance ecosystem yang sesuai prinsip syariah: transparan, aman, dan berkeadilan. Umuka berencana mengembangkan fitur tambahan seperti donasi digital, zakat otomatis, dan pembayaran kegiatan santri berbasis kartu biometrik di tahap berikutnya.
Agar sistem dapat digunakan secara berkelanjutan, tim Umuka juga menyiapkan pelatihan lanjutan bagi pengelola pesantren. Materi pelatihan mencakup cara mengelola data transaksi, pemeliharaan perangkat, hingga penyusunan laporan keuangan digital. Selain itu, disusun pula panduan pengguna (user manual) untuk santri dan wali santri, serta standar operasional prosedur (SOP) agar sistem tetap berjalan meski berganti pengurus pesantren. Rencana jangka panjangnya, Umuka akan membentuk unit inkubasi teknologi keuangan pendidikan yang bisa mendampingi lembaga lain mengadopsi sistem serupa.
Teknologi Bertemu Tradisi
Suasana di ruang administrasi Pondok Pesantren Imam Syuhodo sore itu menggambarkan semangat kolaborasi antara dunia akademik dan dunia pesantren. Beberapa dosen dan mahasiswa Umuka berdiri di depan mesin kios-k bersama para Ustadz. Sebuah spanduk biru bertuliskan “Implementasi dan Pengembangan Sistem Pembayaran QRIS Berbasis AI-IoT dengan Biometric Key Tanpa Handphone di Sukoharjo” menjadi latar dokumentasi.

Program “Pesantris” dari Umuka menjadi bukti bahwa inovasi digital tidak selalu lahir dari kampus besar di kota metropolitan. Dari Karanganyar, sebuah kampus Muhammadiyah berhasil membuktikan bahwa kreativitas akademik dan kepedulian sosial bisa melahirkan perubahan nyata. Erwin Apriliyanto menegaskan pihaknya membuka peluang bagi pesantren atau sekolah lain yang ingin mengadopsi sistem serupa. “Kami siap membimbing dan memberikan pelatihan. Tujuannya bukan hanya inovasi teknologi, tapi pemberdayaan masyarakat berbasis digital yang inklusif,” ujarnya.
Program PKM Umuka ini menjadi representasi dari semangat Kampus berdampak, di mana riset dan pengabdian tidak hanya berhenti di laboratorium, tetapi benar-benar hadir dan berdampak untuk masyarakat. Melalui Pesantris, Umuka tidak hanya membawa teknologi ke pesantren, tetapi juga menanamkan nilai kemandirian, transparansi, dan literasi digital kepada generasi muda. “Kami ingin pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tapi juga tempat menumbuhkan inovator masa depan,” tutup Erwin.
Dengan kolaborasi antara kampus, pesantren, dan pemerintah, inovasi seperti ini diharapkan menjadi bukti bahwa Indonesia sedang menuju masa depan digital yang berakar pada nilai-nilai lokal dan religius. Ali
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.