Energi dan Emisi Indonesia 2019–2023

1 day ago 15

(Beritadaerah-Kolom) Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan sumber energi dan pengendalian emisi gas rumah kaca. Berdasarkan publikasi Neraca Arus Energi dan Neraca Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia 2019–2023 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), sejumlah indikator menunjukkan bahwa ketergantungan pada energi fosil masih tinggi, sementara kontribusi energi terbarukan berjalan lambat. Ini menjadi tantangan serius dalam mewujudkan ekonomi rendah karbon dan mencapai target pembangunan berkelanjutan (SDGs).

Kerangka publikasi ini didasarkan pada System of Environmental-Economic Accounting (SEEA) yang bertujuan mengintegrasikan data ekonomi dan lingkungan untuk mendukung perencanaan pembangunan berkelanjutan. Dalam konteks ini, dua neraca utama disusun: Neraca Arus Energi dan Neraca Emisi Gas Rumah Kaca. Keduanya menggambarkan aliran energi dari lingkungan ke dalam ekonomi, pemanfaatan oleh berbagai sektor, hingga sisa-sisa residu yang kembali ke alam.

Tantangan Transisi Energi

Data dalam neraca energi menunjukkan dominasi absolut energi fosil dalam struktur pasokan energi nasional. Pada tahun 2023, sekitar 96,81 persen energi berasal dari sumber tidak terbarukan seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Angka ini hanya mengalami sedikit perubahan dari 96,78 persen pada tahun 2019. Artinya, dalam lima tahun, kontribusi energi terbarukan justru menurun, dari 3,22 persen menjadi 3,19 persen.

Peningkatan total input energi alam dari 20.669 Peta Joule (PJ) pada 2019 menjadi 23.977 PJ pada 2023 sebagian besar disumbang oleh ekstraksi batu bara, yang menyumbang 81 persen dari total energi pada 2023. Ini menunjukkan bahwa batu bara masih menjadi tulang punggung energi nasional, meski dampak lingkungan dari penggunaannya sangat besar, terutama terhadap peningkatan emisi karbon.

Kontribusi energi terbarukan paling besar berasal dari biomassa, yang secara konsisten menyumbang sekitar 2 persen total energi. Sumber energi terbarukan lainnya seperti hidro, panas bumi, dan surya memberikan kontribusi yang jauh lebih kecil. Bahkan energi dari angin dan matahari masih mendekati nol.

Input Energi dan Tekanan terhadap Lingkungan

Konsep gross energy input yang mencakup ekstraksi energi dari alam, impor produk energi, dan energi dari limbah, digunakan dalam laporan ini untuk menunjukkan tekanan terhadap lingkungan. Selama periode 2019–2023, input energi bruto Indonesia meningkat signifikan dari 22.727 PJ menjadi 26.631 PJ. Kenaikan ini mengindikasikan bahwa kegiatan ekonomi semakin intensif terhadap konsumsi energi, dan sebagian besar beban pasokannya ditanggung oleh lingkungan, baik domestik maupun global.

Produk energi yang beredar dalam ekonomi Indonesia terdiri atas produk energi primer dan sekunder. Produk energi primer, seperti batu bara dan biomassa, diperoleh langsung dari alam. Sementara itu, produk energi sekunder seperti listrik dan bahan bakar hasil olahan dihasilkan melalui proses transformasi. Lapangan usaha pertambangan dan penggalian, serta industri pengolahan dan pengadaan listrik dan gas menjadi pemain utama dalam menyediakan energi tersebut.

Industri dan Rumah Tangga

Dalam hal penggunaan, sektor industri mendominasi konsumsi energi nasional. Distribusi energi tertinggi tercatat pada lapangan usaha pengadaan listrik dan gas, diikuti oleh industri pengolahan, transportasi, serta rumah tangga. Sektor rumah tangga sendiri menyerap energi dalam bentuk LPG, listrik, dan biomassa seperti kayu bakar, terutama di daerah-daerah yang belum sepenuhnya teraliri listrik PLN.

Penggunaan energi oleh rumah tangga memang lebih kecil dibandingkan industri, namun signifikan dalam hal keragaman sumber energi yang digunakan. Pada sisi lain, sektor transportasi tetap menjadi konsumen energi fosil terbesar, terutama bahan bakar minyak, yang menciptakan tantangan tersendiri bagi upaya dekarbonisasi sektor ini.

Intensitas Energi dan Efisiensi

Salah satu indikator penting dalam publikasi ini adalah intensitas energi, yakni konsumsi energi per satuan nilai tambah ekonomi (GJ per miliar rupiah). Data menunjukkan bahwa intensitas energi Indonesia cenderung menurun pada beberapa sektor utama, yang berarti efisiensi energi mulai meningkat, meski belum merata di seluruh lapangan usaha.

Namun penurunan intensitas energi ini tidak serta-merta berarti berkurangnya emisi gas rumah kaca, terutama jika bauran energi masih didominasi oleh bahan bakar fosil. Efisiensi energi tetap penting, tetapi tanpa transformasi struktur energi menuju energi bersih, pengurangan emisi tetap sulit tercapai.

Pola dan Distribusi

Dalam Neraca Emisi Gas Rumah Kaca, data menunjukkan bahwa emisi GRK Indonesia masih sangat tinggi dan terus meningkat seiring dengan konsumsi energi yang meningkat. Emisi terbesar berasal dari sektor industri pengolahan, diikuti oleh transportasi dan pengadaan listrik dan gas. Emisi ini terutama berbentuk karbon dioksida (CO₂), metana (CH₄), dan dinitrogen oksida (N₂O), yang dihitung dalam satuan Gigagram CO₂ ekuivalen (GgCO₂e).

Selama periode 2019–2023, total emisi GRK terus meningkat, mencerminkan kuatnya korelasi antara konsumsi energi fosil dan pencemaran udara. Meskipun ada sektor-sektor seperti pertanian dan kehutanan yang juga menyumbang emisi, kontribusi terbesar tetap berasal dari sektor berbasis energi.

Distribusi emisi juga menunjukkan bahwa emisi dari transportasi bersifat langsung dan tersebar luas, sementara emisi dari pengadaan listrik cenderung terpusat pada wilayah-wilayah industri. Emisi rumah tangga lebih kecil tetapi tetap signifikan, terutama dari pembakaran biomassa.

Mengukur Kemajuan

Salah satu ukuran penting yang ditampilkan dalam laporan adalah intensitas emisi, yaitu rasio emisi terhadap nilai tambah ekonomi (ton CO₂e per miliar rupiah). Indeks intensitas emisi memberikan indikasi apakah emisi meningkat lebih cepat dibandingkan pertumbuhan ekonomi.

Jika intensitas emisi menurun, berarti ada potensi decoupling, yaitu pemisahan antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan emisi. Namun, data menunjukkan bahwa decoupling belum signifikan. Pada beberapa sektor, justru terlihat bahwa pertumbuhan emisi seiring atau bahkan lebih cepat dibandingkan pertumbuhan nilai tambah bruto, yang berarti pembangunan belum benar-benar berkelanjutan dari sisi lingkungan.

Validasi dan Rekonsiliasi Data

BPS menekankan bahwa neraca-neraca ini disusun dengan prinsip kehati-hatian tinggi. Metode Physical Supply and Use Tables (PSUT) digunakan agar penyediaan dan penggunaan energi serta emisi tetap seimbang. Proses validasi dilakukan baik secara internal (keseimbangan neraca, prinsip termodinamika) maupun eksternal (kesesuaian dengan sumber data lain seperti Inventori GRK, Neraca Energi, dan data OECD).

Rekonsiliasi juga dilakukan terhadap prinsip penghitungan: Neraca Energi menggunakan prinsip teritori, sedangkan Neraca Arus Energi dan Neraca Emisi memakai prinsip residen. Artinya, aktivitas ekonomi residen Indonesia di luar negeri tetap dihitung dalam cakupan, sementara aktivitas non-residen di Indonesia dikecualikan. Penyesuaian ini sangat penting terutama untuk transportasi internasional seperti penerbangan dan pelayaran.

Jalan Panjang Menuju Transisi Energi

Data dalam artikel ini menunjukkan bahwa meskipun sudah ada kesadaran dan kerangka kebijakan untuk mendukung transisi energi bersih, realisasi di lapangan masih jauh dari harapan. Ketergantungan pada batu bara bahkan meningkat dalam lima tahun terakhir. Energi terbarukan masih minim kontribusinya dan belum menjadi prioritas investasi skala besar.

Upaya mendorong bauran energi terbarukan perlu dipercepat, terutama dengan memperluas jaringan listrik dari sumber energi terbarukan, memberikan insentif pada industri yang menggunakan energi bersih, serta mempercepat konversi kendaraan berbasis BBM ke kendaraan listrik.

Selain itu, pelaporan dan penyusunan neraca seperti ini menjadi dasar yang penting bagi pengambilan kebijakan. Tanpa data yang akurat dan terintegrasi, perumusan kebijakan akan kehilangan arah. Oleh karena itu, publikasi ini bukan hanya sekadar statistik, tetapi merupakan fondasi dalam membangun tata kelola energi dan lingkungan yang lebih baik.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |