Faza Meonk, Kreator Si Juki: Dilema Seniman dalam Kemunduran Kebebasan Berkesenian

20 hours ago 15

FAZA MEONK, kreator karakter populer Si Juki, masih menunggu kejelasan dari salah satu perusahaan BUMN terkait nasib proyek kolaborasi yang melibatkan karyanya. Setelah sempat digadang-gadang sebagai bentuk dukungan terhadap Intellectuall Property (IP) lokal, saat proyek tersebut tengah digarap, tiba-tiba BUMN tersebut meminta Si Juki digantikan oleh IP lain tanpa penjelasan resmi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Si Juki, karakter komik ciptaan Faza Meonk, memang kerap menyuarakan kritik melalui humor satir dalam karya-karyanya. Dalam berbagai komik dan adaptasi karya, Si Juki tidak segan menyentil kebijakan pemerintah, fenomena sosial, hingga isu-isu di masyarakat dengan gaya yang jenaka. Sikap kritis inilah yang diduga membuat pihak BUMN mempertimbangkan ulang kerja sama tersebut. 

Ditemui Tempo pada Jumat, 14 Maret 2025, di kawasan Sabang, Jakarta Pusat, Faza berbagi cerita tentang bagaimana proyek ini berjalan, dibatalkan secara sepihak, serta kegelisahannya terhadap kondisi saat ini yang ia anggap sebagai kemunduran bagi kebebasan berkesenian. Faza bahkan mengirimkan surat kekecewaan kepada BUMN tersebut, namun hingga kini belum mendapat balasan terkait alasan tak lagi menggunakan karakter Si Juki. 

#Awal mula kerja sama ini terjadi seperti apa? Bagaimana tawaran ini diterima oleh Anda (Si Juki)?

Proyek ini masih dalam proses di tengah jalan. Jadi, dari dulu kami memang dekat dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Sejak Kemenekraf (Kementerian Ekonomi Kreatif) yang baru ini, mereka cukup mendorong supaya IP-IP (Intellectual Property) lokal bisa bekerja sama dengan BUMN. Saya melihat ini sesuatu yang positif. 

Mungkin di era sebelumnya, kami hanya diminta presentasi di depan BUMN. Lalu, BUMN itu sendiri yang akan memutuskan apakah tertarik atau tidak. Tapi di era yang sekarang, mereka lebih take real action ya. Ini sesuatu yang positif karena bukan hanya presentasi, tapi ada tekanan langsung kepada BUMN untuk harus bekerja sama. Menurut saya, ini good gesture dari pemerintah. 

#Kerja sama Anda (Si Juki) dengan pemerintah selama ini seperti apa? Terutama dengan proyek baru yang menurut Anda dibatalkan sepihak?

Jadi, proyek kolaborasi ini awalnya langsung didorong dan disetujui karena mereka (suatu perusahaan BUMN) ingin mengejar momentum Ramadhan. Karena sudah mepet Ramadhan, proyek ini berjalan dengan cepat. Biasanya, kalau saya bikin proyek atau kolaborasi, pasti ada kontrak dulu, baru kerja. 

Tapi karena proyek ini juga didorong oleh Kemenekraf, saya dan tim menghargai itu. Kami juga bekerja sama dengan salah satu penerbit swasta, jadi saya pikir pasti ada komitmen bekerja sama. Meskipun kontrak belum masuk, kami tetap mulai mengerjakan karena melihat ada itikad baik.

Tapi proyek ini datang ketika Indonesia bertubi-tubi sedang dipenuhi berita-berita yang berat, sampai ramai aksi Indonesia Gelap dan segala macam. Tapi sejak awal, konten-konten Si Juki memang dibuat untuk menyuarakan pertama, keresahan personal, yang jika ternyata merefleksikan masyarakat dan mereka merasa terwakili, itu bagus juga. 

Dari dulu, konten Si Juki selalu memiliki unsur kritik, baik kritik sosial, kritik pemerintah, maupun kritik terhadap diri kita sendiri sebagai masyarakat. Menariknya, sejak Si Juki dibuat 2010. Dari awal berkarya lewat Si Juki, saya merasa kritik yang kami sampaikan sebenarnya tidak terlalu keras, tapi mungkin lebih berani. Kalau keras saya pikir tidak, lebih ke sarkasme.

Kami juga sudah bekerja sama dengan pemerintah sejak 2013-2014. Lucunya, walaupun kami cukup vokal, kami selalu dirangkul oleh pemerintah. Tapi itu tidak membuat kami takut dalam berkarya. Situasi ini unik, tidak ideal, tapi menarik. Ternyata pemerintah kita nggak se-baperan itu ya. Pemerintah mendukung kami, bahkan memfasilitasi pameran ke luar negeri, termasuk oleh Kemenekraf. 

Sampai akhirnya, situasi di tengah proyek ini, saat kami sedang bekerja—meskipun kontraknya belum ada—kami tiba-tiba mendapat kabar bahwa proyek ini dibatalkan begitu saja. Saya mendapat kabar dari perantara kami, yaitu penerbit swasta tersebut. Kami tidak berhubungan langsung dengan perusahaan BUMN itu, jadi ada banyak perantara. 

Karena situasinya cepat, kami harus mengejar target launching. Dengan itikad baik, penerbit swasta tersebut maunya dapat IP dari perusahaan kami. Jadi kami kasih IP lain, yang merupakan top IP juga di perusahaan kami. Perusahaan BUMN itu pun karena pembatalan tersebut—bersedia memberikan kompensasi. Jadi secara finansial aman, tapi kemarin masalahnya ada pada komunikasi yang kurang lancar. 

#Proyek ini dipersiapkan berapa lama? 

Pertemuan pertama kami di salah satu kawasan di Jakarta Pusat pada 24 Januari. Jadi, baru berjalan sekitar dua bulan. 

#Selain karena sering bekerja sama dengan pemerintah, apa yang membuat Anda dan tim tetap yakin untuk menjalankan proyek ini sejak awal, meskipun belum ada kontrak resmi?

Saya lebih percaya dengan orang-orang yang membawa pekerjaan ini, ada dua penerbit swasta, kami sudah dekat sekali. Kedua, karena salah satu petinggi di Kemenekraf. Menurut saya, beliau benar-benar orang yang memang memperjuangkan kami dari awal.

Dia bekerja sejak awal menjabat dengan langsung mendekati semua kreator, tanpa ada jarak. Saya merasa percaya, walaupun akhirnya proyek ini dibatalkan. Bahkan sebelum dibatalkan, ia tetap berusaha menjalankan proyek ini. Saya sangat mengapresiasi beliau karena masih berusaha sampai titik darah penghabisan. Tapi mungkin ada negosiasi dengan perusahaan BUMN ini yang tidak berhasil, akhirnya tetap dibatalkan. 

#Bagaimana komunikasi yang terjadi antara Anda, penerbit swasta, dan pihak BUMN sebelum keputusan pembatalan ini diumumkan? Apakah ada diskusi atau pemberitahuan sebelumnya?

Walaupun memang secara legal, memang keputusan mereka benar karena saya pihak ke sekian. Saya bukan pihak yang langsung berkontrak dengan perusahaan BUMN tersebut, melainkan penerbit swasta. Tapi karena hubungan kami dengan penerbit swasta itu sudah seperti teman, yang lebih disayangkan, tidak ada pernyataan resmi dari BUMN tersebut mengapa proyek ini batal. 

Saya akhirnya mengirim surat kekecewaan ke BUMN tersebut yang akhirnya diterima oleh para staf, dan juga diajak bertemu. Namun kecewanya adalah waktu diajak ketemu tidak langsung dengan direksi.

#Apa yang paling Anda sayangkan dari pembatalan proyek ini?

Yang saya sayangkan adalah, apakah untuk menjadi kreator, apakah kedepannya kreator-kreator yang vokal seperti kami akan sulit lagi kerja sama dengan siapapun itu ya—pemerintah, BUMN, dan lainnya. Saya merasa itu sebuah kemunduran. Makanya di surat kekecewaan itu saya sebut ini kemunduran. 

Selama ini kami kerja sama dengan pemerintah, baik-baik saja. (Proyek) kami lanjut, (proyek) BUMN lanjut. Kenapa malah kalian tiba-tiba mundur, bahkan secara komunikasi kurang baik. Jadi, saya meminta itikad baik mereka. Kerja sama ini belum tentu dibatalkan, tapi saya tetap harus upaya (untuk meminta kepastian).

#Soal isi surat kekecewaan, kurang lebih apa saja yang Anda soroti dalam surat tersebut?

Saya kirim 25 Februari. Saya menjelaskan bahwa awalnya saya sangat mengapresiasi kesempatan ini. Bahkan, ini adalah impian saya untuk bisa berkolaborasi dengan perusahan BUMN tersebut. Ketika ditawarkan proyek ini, kami sangat antusias dan menunjukkan komitmen, meskipun kontrak belum datang. 

Lalu saya mengungkapkan kekecewaan ketika mendengar kabar bahwa kolaborasi ini dibatalkan. Yang saya sayangkan adalah sampai hari ini saya belum dikontak langsung oleh perusahaan BUMN tersebut. Saya kecewa karena keputusan pembatalan sepihak ini tidak melibatkan saya selaku kreator untuk berdiskusi atau diberikan hak untuk berargumen dalam keputusan. Padahal, proyek ini sedang dalam proses pengerjaan. 

Lain cerita kalau pembatalan ini dilakukan sebelum saya dan tim mulai bekerja. Tapi kenyataannya, kita sudah membentuk grup WhatsApp, bukti kerja sama sudah ada. Saya juga menuliskan, dalam asumsi saya bahwa mungkin wajar ada kekhawatiran BUMN karena karakter yang saya buat sering mengkritisi pemerintah. 

Saya paham kalau ini membuat mereka merasa tidak nyaman. Tapi saya juga menyatakan bahwa ini adalah konsekuensi dari pilihan saya sebagai kreator. Saya membuat karya untuk mengekspresikan opini, mengkritik, dan menyuarakan perasaan banyak orang. 

Sebenarnya, ini adalah bentuk kepedulian dan cinta saya pada negara. Kalau ada yang salah, ya dikritik. Kalau ada yang bagus, ya dipuji. Sesimpel itu. Saya juga menyampaikan bahwa selama 14 tahun berkarya, Si Juki sudah banyak berkolaborasi dengan berbagai kementerian. Selama ini, kami selalu bisa bekerja sama. Tapi sekarang, saya melihat ada kemunduran. 

Jadi, dalam surat itu, saya ingin mengekspresikan kekecewaan dan mempertanyakan, 'Ini lanjut atau tidak?' Sampai sekarang masih belum jelas. Walaupun mereka selalu bilang, 'Nanti kita kerja sama lagi,'. Tapi perusahaan BUMN itu telah mengirimkan surat pernyataan. Bukan langsung kepada kami (Si Juki). Tapi ke penerbit swasta yang menjadi perantara. Dan tetap tidak memberikan alasan yang jelas. Mereka hanya menyatakan bahwa IP-nya diganti. Jadi belum ada tanggapan langsung perihal surat kekecewaan saya.

#Kasus pembatalan kolaborasi ini tidak ada pernyataan resmi dari pihak terkait. Apakah Anda melihat ini sebagai bagian dari tren yang lebih besar dalam pembungkaman seni di Indonesia?

Lebih ke soal kekecewaan. Mungkin ini juga diperjelas dengan belakangan banyak kasus-kasus (pembungkaman seni) seperti SUKATANI, lukisan metafora Jokowi (pameran Yos Suprapto), lukisan tikus dalam burung garuda (Tikus Garuda karya Rokhyat). Saya sendiri cukup terpicu. 

Saya merasa ini bukan hanya tentang saya, tapi tentang bagaimana seniman saat ini bisa terus berkarya tanpa takut dibredel lagi. Tapi, positifnya karena ini era media sosial ya, ada fungsi kontrol masyarakat juga ya. 

#Menurut Anda, seberapa besar risiko para kreator seni di Indonesia untuk vokal? Apakah seniman perlu vokal atau diam dan fokus berkarya saja?

Menurut saya, setiap seniman cara ekspresinya beda-beda. Jadi, nggak ada batasan. Poinnya adalah nggak ada batasan. Mau kamu cuma berkarya dan bersenang-senang saja, nggak apa-apa. Bagus. Mau kamu berkarya dengan menyuarakan sesuatu lewat karya juga nggak apa-apa. Memang tidak ada batasan. Seharusnya.

Tapi, kita hidup di negara yang punya batasan-batasan etika dan moral juga, dan itu punya konsekuensinya masing-masing. Jadi, menurut saya, seniman yang baik adalah seniman yang mau bertanggung jawab. Kalau pun dia menyuarakan sesuatu, ketika ditanya maksudnya apa, mereka tahu apa yang disuarakan. Itu namanya tanggung jawab.

Mereka bertanggung jawab atas opini dan argumen mereka. Mereka punya poin. Selama mereka bertanggung jawab dan paham konsekuensinya, ya seharusnya sih dikerjakan saja. Harusnya negara ini nggak perlu alergi sama hal-hal seperti itu. Salah sendiri milih sistem demokrasi, ya kan? Kami menggunakan itu terus. Mereka bilang ini negara demokrasi, ya sudah, kami bisa berekspresi sesuai dengan pekerjaan kita masing-masing.

#Dari awal anda merintis sampai sekarang, bagaimana pandangan soal kebebasan berekspresi di Indonesia, terutama sebagai seorang animator?

Kalau saya lihat, makin ke sini sebenarnya makin diperjelas. Dari dulu pemerintah kita memang sudah bobrok, cuma sekarang mereka makin nggak malu-malu saja. Atau makin buruk aja komunikasinya. Pejabat-pejabat kita kayak nggak memiliki public relations (humas) yang bagus.

Makanya, menurut saya, kreator juga harus nggak tahu malu saja. Mereka nggak tahu malu, kita juga nggak tahu malu buat kritik mereka. Mungkin dulu cara kritik masih halus. Sekarang mungkin kita bisa lebih jelas saja. Cara kritik juga makin beragam. Ada yang bikin video TikTok, tulisan, gambar, komik, dan lainnya.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |