Gaza Menangis, Sudan Merintih

6 hours ago 14

Oleh : Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika dunia masih berduka atas tragedi kemanusiaan di Gaza, darah kembali tumpah di Sudan. Kota Al-Fashir di Darfur Utara, yang menyimpan 20% cadangan emas Sudan, menjadi saksi pembantaian massal yang dilakukan milisi Rapid Support Forces (RSF) terhadap ribuan warga sipil. Dunia tersentak — tetapi tidak lagi terkejut. Mungkin karena masyarakat dunia sudah terbiasa melihat darah tumpah sehingga tak lagi sensitif.

Seolah ada pola berulang: setelah Gaza, kini Sudan. Dua wilayah berbeda, namun memiliki benang merah yang sama — kekerasan atas nama kekuasaan, keserakahan ekonomi, dan dunia yang abai terhadap penderitaan manusia.

Siklus 20 Tahunan Kekerasan

Sudan memiliki sejarah unik dan tragis: perang besar terjadi hampir setiap dua puluh tahun sekali.

Tahun 1983, Presiden Sudan Jenderal Jaafar Nimeiry, secara mengejutkan, menerapkan syariat Islam sebagai reaksi atas maraknya korupsi dan mabuk-mabukan. Hasilnya, tindak kriminal memang menurun, tetapi kebijakan itu memicu perlawanan dari Sudan Selatan yang mayoritas non-Muslim. Perang pun pecah.

Setelah serangkaian kudeta dan transisi, pada 1989 muncul Omar al-Bashir, pemimpin yang menegakkan Islamisasi lebih dalam. Namun ketimpangan sosial dan politik tetap membara. Tahun 2003, Darfur terbakar — perang antara pemerintah dan kelompok non-Arab kembali menelan ratusan ribu korban.

Dua puluh tahun kemudian, 2023, sejarah berulang. Kali ini bukan antara pemerintah dan pemberontak, melainkan antara dua kekuatan yang sama-sama bersenjata: Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) melawan Rapid Support Forces (RSF) — anak kandung rezim lama yang berbalik menggigit tuannya.

Dari Janjaweed ke RSF: Milisi Jadi Negara

RSF berakar dari kelompok Janjaweed, milisi berkuda yang dulu digunakan pemerintah untuk menumpas pemberontakan di Darfur. Setelah “dilegalkan” sebagai pasukan paramiliter, mereka menjadi kekuatan politik dan ekonomi tersendiri — lengkap dengan jaringan tambang emas dan dukungan finansial dari luar negeri, terutama Uni Emirat Arab.

Pemimpinnya, Mohamed Hamdan Dagalo alias Hemedti, kini menantang militer nasional. Dengan senjata modern, logistik kuat, dan koneksi internasional, RSF bertransformasi menjadi negara dalam negara.

Inilah wajah baru dari negara yang dimakan oleh milisinya sendiri — sebuah gejala khas pasca-negara Islamisasi yang kehilangan visi keadilan sosial.

Perang Proxy dan Serakahnomics

Konflik Sudan tidak berdiri sendiri. Ia adalah cermin perang-proxy global yang didorong oleh serakahnomics — ekonomi keserakahan.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |