

SETIAP tahun, Kota Solo menjadi lautan manusia. Sejak Jumat (10 Oktober) hingga Senin 13 Oktober dari berbagai penjuru Nusantara, bahkan mancanegara, jutaan umat Islam datang berbondong-bondong tanpa komando, tanpa pamrih duniawi. Mereka datang dengan cinta. Mereka datang untuk satu tujuan menghadiri Haul Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi—waliyullah besar dari Hadramaut yang menjadi cahaya spiritual bagi umat Islam di seluruh dunia.
Habib Ali bukan sekadar nama yang dikenal dalam kitab-kitab sejarah ulama. Beliau adalah ulama kamil, seorang kekasih Allah yang hidupnya seluruhnya diabdikan untuk akhirat. Sejak kecil, beliau tumbuh dalam suasana ilmu dan ketakwaan. Dikenal memiliki kecerdasan luar biasa, Habib Ali hafal Al-Qur’an beserta berbagai syarahnya, menguasai ratusan ribu hadis, dan—yang paling penting—mengamalkan semuanya dalam kehidupan sehari-hari.
Hari-harinya dihabiskan untuk mencari ilmu, berguru kepada para ulama alim yang zuhud dan wara’, menjalankan jamaah salat lima waktu, memperbanyak ibadah sunah, dzikir, membaca Al-Qur’an, bershalawat, dan menulis kitab. Di antara karya beliau, yang paling terkenal adalah Maulid Simtudduror—sebuah kitab maulid yang hingga kini dibaca oleh jutaan umat Islam di berbagai belahan dunia.
Kalung Mutiara Cinta Rasulullah SAW
Kitab Simtudduror (yang berarti “Kalung Mutiara”) bukan sekadar rangkaian pujian kepada Rasulullah SAW. Ia adalah untaian mahabbah, pengakuan cinta seorang hamba kepada junjungan alam semesta. Dalam setiap baitnya, Habib Ali memadukan keindahan bahasa Arab klasik, kedalaman makna teologis, dan pancaran cinta yang lembut.
Tidak berlebihan bila banyak ulama mengatakan bahwa membaca Simtudduror berarti menyelami samudra cinta kepada Rasulullah SAW. Ia dibaca dalam majelis maulid di seluruh dunia Islam—dari Yaman, Mekkah, Madinah, Afrika Timur, hingga Indonesia—sebagai sarana memperkuat hubungan rohani antara umat dan Rasulullah SAW.
Habib Ali sendiri adalah sosok yang sangat mencintai Nabi Muhammad SAW. Cinta itu tidak berhenti pada lisan, tetapi menjelma dalam amal nyata. Beliau hidup sederhana, dermawan, dan zuhud. Hampir seluruh hartanya digunakan untuk dakwah, membantu fakir miskin, membangun majelis ilmu, dan menolong umat.
Beliau makan sekadarnya, berpuasa hampir setiap hari, dan tak pernah berhenti berbuat baik. Sifat dermawannya menjadi legenda. Dalam dirinya, umat melihat cerminan akhlak Rasulullah SAW. Tidak heran jika kecintaannya kepada Nabi justru menginspirasi jutaan umat untuk mencintai beliau juga.
Cinta Menular, Barokah Meluas
“Yang pasti saya ingin masuk surga bersama Rasulullah SAW, bersama Habib Ali, dan para waliyullah lainnya,” ujar Abdullah, seorang jamaah asal Pasuruan, Jawa Timur. Pria berusia lima puluhan ini sudah dua puluh lima tahun tak pernah absen menghadiri haul di Solo.
“Dulu saya datang sendirian naik motor. Sekarang bisa bersama keluarga naik mobil. Bahkan saya carterkan bus besar AC untuk saudara-saudara sekampung yang ingin ikut. Saya yakin semua ini karena barokah Habib Ali dan Rasulullah SAW. Saya hanya ambil rezeki secukupnya, selebihnya untuk dakwah, untuk membantu orang lain. Meniru Habib Ali,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.
Cerita Abdullah adalah potret kecil dari jutaan hati yang tersentuh oleh barokah Habib Ali. Cinta kepada waliyullah ini menjadi energi sosial yang nyata. Ia menumbuhkan semangat berbagi, gotong royong, dan kepedulian.
Haul Habib Ali bukan hanya momentum spiritual, tetapi juga peristiwa sosial-ekonomi yang membawa berkah besar bagi masyarakat Solo. Selama pelaksanaan haul, perputaran uang diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah. Seluruh hotel—dari kelas melati hingga bintang lima—penuh. Rumah-rumah warga disulap menjadi penginapan. Warung, rumah makan, pedagang kaki lima, hingga penjual oleh-oleh, semuanya menikmati rezeki dari hajatan langit ini.
Namun di balik geliat ekonomi itu, ada ruh spiritual yang tak kalah penting: budaya sedekah dan ta’awun (tolong-menolong). Di banyak rumah dan majelis, masyarakat menyiapkan makanan gratis untuk para tamu Allah. Masjid Riyadh—pusat kegiatan haul—menyembelih lebih dari 300 kambing setiap tahun untuk dibagikan kepada jamaah dan warga sekitar.
Haul Habib Ali telah menjelma menjadi event religius tahunan yang bukan hanya milik kalangan habaib, tetapi juga menjadi bagian dari identitas kultural Kota Solo. Pemerintah kota pun mendukung penuh karena dampak positifnya terasa luas, dari ekonomi rakyat hingga promosi wisata religi.
Spirit Cinta yang Tak Pernah Padam
Haul Habib Ali di Solo mengajarkan kepada kita bahwa cinta sejati kepada Allah dan Rasulullah SAW bisa menggerakkan jutaan hati. Tidak ada politik, tidak ada pamrih. Yang ada hanyalah kerinduan kepada Rasulullah SAW melalui wasilah sang kekasih-Nya.
Di tengah zaman yang penuh kebisingan dan kegaduhan dunia, haul ini menjadi oase ketenangan. Setiap langkah jamaah menuju Solo adalah langkah menuju pencerahan batin. Mereka datang untuk ngalap barokah, untuk meneguhkan iman, untuk menyegarkan cinta kepada Rasulullah SAW.
Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi telah lama wafat, tetapi cahaya beliau tak pernah padam. Kitab Simtudduror terus mengalun di majelis-majelis maulid, cinta beliau terus berdenyut dalam hati para pecinta Nabi.
Dan setiap tahun, ketika jutaan umat datang ke Solo, sejatinya mereka sedang meneguhkan satu hal: bahwa kekuatan terbesar umat Islam bukanlah pada jumlah, jabatan, atau harta, melainkan pada cinta.
Cinta yang mempersatukan.
Cinta yang menghidupkan.
Cinta yang membawa barokah — bagi hati, bagi umat, dan bagi negeri. [*]
- Penulis adalah jama’ah masjid Riyadh dan Raudhah Pasar Kliwon – Alumni Sosiologi
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.