Jejak Besi dari Negeri Jauh

10 hours ago 6

(Beritadaerah-Kolom) Namanya Ferra, dan ia bukan makhluk hidup tapi besi. Ia adalah logam, tepatnya ferro-manganese, sejenis paduan besi dan mangan dengan kadar karbon tinggi yang lazim digunakan untuk industri baja. Tubuhnya keras, berwarna keperakan gelap, dan mengandung lebih dari dua persen karbon. Kelahirannya bukan di rahim, tapi di dalam tungku api di negara bagian Odisha, India—di jantung pabrik peleburan logam terbesar di Asia Selatan.

Ferra memiliki tanda lahir HS Code 72021100. Dalam dunia perdagangan global, kode itu berarti satu hal—ia bukan barang biasa. Ia bagian dari arus besar barang yang diperdagangkan lintas negara, dicatat dalam tabel statistik, dimuat dalam kontainer, dan dibawa ke negeri seberang, Indonesia.

Di tahun 2024, Indonesia mengimpor 21,5 juta kilogram ferro-manganese jenis ini dari seluruh dunia, dengan nilai mencapai 21,9 juta dolar AS. Angka itu meningkat tajam dari tahun 2023, di mana total impornya hanya sekitar 13,1 juta kilogram senilai 13,1 juta dolar AS. Dari angka itu, India menjadi penyumbang terbesar, mengirimkan 16,6 juta kilogram senilai 16,1 juta dolar. Sisanya berasal dari Vietnam (2,6 juta kg), Malaysia (1,5 juta kg), Korea Selatan (406 ribu kg), dan China (131 ribu kg).

Ferra bukan satu-satunya tokoh. Ada juga Moly—ferro-molybdenum, HS Code 72027000, yang berasal dari Korea Selatan dan Thailand. Barang ini mengalami kenaikan dari 7,2 juta kg (2023) menjadi 8,3 juta kg (2024), dengan nilai mencapai 250 juta dolar AS. Ia digunakan dalam industri baja tahan karat dan suku cadang bertekanan tinggi. Lalu ada Chrome, ferro-chromium dari Afrika Selatan dan Kazakhstan (HS 72024100), yang menyumbang 901 juta kg senilai 1,08 miliar dolar.

Di pelabuhan Visakhapatnam, Ferra dan jutaan kilogram logam lain dimasukkan ke dalam kontainer. Suara crane dan gemuruh kapal kargo menjadi irama pelepasan. Tidak ada upacara perpisahan, tidak ada doa khusus. Hanya besi, logam, dan dokumen ekspor yang telah diperiksa pejabat bea cukai. Ferra berada di baris depan, dan meski ia tak punya perasaan, ada sesuatu dalam dirinya yang seolah berkata, ini baru awal.

Di Jakarta, seorang analis muda bernama Indira sedang menyusun laporan triwulanan untuk Badan Pusat Statistik. Ia membuka halaman 867, lampiran data yang mencantumkan statistik impor ferro-alloys berdasarkan negara asal. Matanya berhenti pada satu baris: India, ferro-manganese lebih dari dua persen karbon, 16,6 juta kilogram, senilai lebih dari 16 juta dolar. Ia menandai dan mencatat: “India tetap negara asal dominan. Kenaikan volume +26% dari tahun lalu.”

Indira lalu membuka data pelabuhan. Di sana, tertulis bahwa barang-barang logam seperti Ferra masuk melalui pelabuhan Tanjung Priok, Belawan, dan Tanjung Perak. Untuk tahun 2024, pelabuhan Tanjung Priok mencatat nilai impor ferro-alloys terbesar, diikuti oleh pelabuhan Belawan yang melayani arus logam dari India dan China ke Sumatra.

Barang-barang logam lain juga masuk dalam catatan. Ferro-silico-manganese (HS 72023000) meningkat menjadi 131 juta kg senilai 146 juta dolar. Malaysia menyumbang hampir 62 juta kg, diikuti India dengan 38 juta kg. Ini menjadi indikator penting bagi Indira: industri peleburan domestik sedang tumbuh pesat.

Di gudang pelabuhan, Ferra tak sendirian. Ia bersebelahan dengan ratusan kontainer berisi bubuk baja (HS 72052900), serpihan logam bekas (HS 72044900), dan slab baja mentah (HS 72071210). Barang-barang ini, meski berbeda bentuk, memiliki tujuan sama: masuk ke mesin industri Indonesia. Beberapa di antaranya akan dilebur, sebagian diproses ulang, sebagian lagi akan langsung digunakan oleh pabrik otomotif dan produsen alat berat.

Fakta ini tercermin dalam klasifikasi BEC—Broad Economic Categories. Menurut data BPS, 60% impor logam-logam tersebut masuk ke kategori “Barang Modal”, sisanya adalah bahan baku industri, terutama untuk sektor logam dasar, konstruksi, dan manufaktur alat transportasi.

Pabrik-pabrik di Jawa Barat menjadi tujuan utama. Cikarang, Bekasi, Karawang, dan Purwakarta adalah titik konsentrasi industri logam dan baja. Di sana, Ferra akan menjalani tahap transformasi paling penting: peleburan ulang. Dalam suhu lebih dari 1.500 derajat Celsius, ia akan meleleh bersama logam-logam lain dan dicetak menjadi batang, lembaran, atau pipa. Sebagian digunakan untuk rangka jembatan, sebagian lagi menjadi komponen alat berat.

Indira tidak melihat proses itu secara langsung. Tapi ia tahu, lewat data, ke mana semua itu mengalir. Ia membuka file lain yang berisi statistik provinsi. Jawa Barat menjadi pengimpor terbesar, disusul Banten dan Jawa Timur. Masing-masing memiliki kawasan industri padat dengan permintaan logam yang sangat tinggi.

Di layar komputernya, grafik batang menunjukkan tren lima tahun terakhir. Tahun 2020, impor ferro-alloys hanya sekitar 700 juta dolar. Tahun 2024, angkanya mendekati 1,5 miliar dolar. Lonjakan ini tak lepas dari proyek infrastruktur nasional, seperti kereta cepat, pembangunan smelter nikel, dan perluasan pelabuhan.

Indira mengembuskan napas. Ia menyadari bahwa pekerjaan menyusun statistik ini lebih dari sekadar angka. Di balik setiap satuan kilogram dan nilai CIF, tersembunyi kisah panjang lintas negara, logistik, dokumen ekspor-impor, dan pertemuan antara kebutuhan industri dan pasokan global.

Sementara itu, di proyek pembangunan jembatan di Kalimantan, Ferra akhirnya menjadi nyata. Ia telah berubah bentuk menjadi balok baja, tertanam di tiang utama jembatan layang yang membelah sungai Mahakam. Ia tak bisa bicara, tapi ia tahu dirinya berguna. Di atasnya, kendaraan berlalu lalang. Tak seorang pun tahu ia ada di sana, tak seorang pun mengenalnya. Tapi kehadirannya dirasakan setiap hari.

Di hari lain, Indira mempresentasikan temuannya di forum teknis Kementerian Perindustrian. Ia menjelaskan bahwa peningkatan impor ferro-manganese dan ferro-silicon menandakan ketergantungan industri baja nasional terhadap pasokan luar negeri masih tinggi. Ia juga mencatat bahwa negara-negara Asia mendominasi pasokan: India, Malaysia, China, dan Korea Selatan. Eropa hanya menyumbang sebagian kecil, terutama logam dengan tingkat kemurnian tinggi.

Ia menyarankan agar pemerintah mulai memetakan kebutuhan bahan baku logam ke depan, dan mempercepat integrasi industri hulu-hilir, agar Indonesia tidak terus bergantung pada impor. Apalagi, sebagian barang yang diimpor sebenarnya bisa diproduksi di dalam negeri jika teknologi dan infrastruktur pabriknya diperkuat.

Presentasinya ditutup dengan kalimat: “Setiap kilogram logam yang datang, membawa cerita panjang. Statistik bukan hanya soal angka, tapi juga arah masa depan industri kita.”

Dan di dalam jembatan, Ferra diam. Ia mungkin akan tetap di sana untuk lima puluh atau seratus tahun. Ia adalah logam, tapi juga saksi bisu dari bab kecil dalam sejarah industri Indonesia.

Ia adalah besi dari negeri jauh, yang kini telah menjadi bagian dari fondasi negeri ini.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |