Mereka yang Bangun Pagi demi Negeri

1 month ago 38

(Beritadaerah-Kolom) Di suatu pagi yang sibuk di Indonesia, jutaan orang melangkah keluar dari rumahnya, membawa harapan dan beban yang tak kasat mata. Dari Sabang sampai Merauke, mereka berjalan menuju pabrik, kantor, sawah, bengkel, hingga layar komputer. Panggung besar bernama ekonomi ini digerakkan oleh tangan-tangan manusia yang datang dari berbagai usia—masing-masing dengan cerita dan ritmenya sendiri.

Di pinggiran kota, anak muda berusia 17 tahun baru saja menyelesaikan panggilan wawancara daring. Dengan napas yang belum stabil dan harapan yang menumpuk, dia menjadi satu dari 21,9 juta pemuda usia 15–24 tahun yang mencoba peruntungannya di dunia kerja. Tapi dari jumlah itu, hanya sekitar 18,4 juta yang benar-benar bekerja. Sisanya, seperti dirinya, masih mencari, mencoba, gagal, lalu mencoba lagi. Mereka muda, penuh ide, tapi sering kali dunia belum siap memberi ruang. Rasio mereka yang bekerja hanya sekitar 83,8 persen—terendah di antara semua kelompok umur.

Tak jauh dari sana, seorang perempuan berusia 29 tahun sedang memimpin rapat di ruang virtual, sambil sesekali mengintip tangisan bayinya di kamar sebelah. Ia bagian dari kelompok usia 25–34 tahun—generasi tangguh yang jumlahnya lebih dari 35 juta dalam angkatan kerja. Dari jumlah itu, 33,1 juta sudah bekerja. Rasio bekerja mereka melesat ke 94,5 persen. Ini fase usia di mana orang membangun karier, memperkuat fondasi ekonomi keluarga, dan kadang harus memilih antara gaji dan passion, antara peluang dan stabilitas. Mereka sudah melewati tahap mencari-cari, dan kini berjuang untuk bertahan.

Di jalan raya, seorang pria usia 40 tahun sedang mengatur lalu lintas pagi. Ia tahu titik-titik macet, tahu kapan harus meniup peluit. Ia bagian dari kelompok usia 35–44 tahun, yang jumlahnya 34,6 juta orang. Mereka adalah fondasi dari mesin ekonomi bangsa. Dengan 98 persen dari mereka sudah bekerja, mereka menghidupi kantor, pabrik, sekolah, rumah sakit, dan usaha rintisan. Mereka mungkin tidak seberani anak muda, tapi mereka tahu apa yang harus dilakukan. Di usia ini, hidup tak lagi tentang mencoba, tapi tentang melanjutkan dan mempertahankan.

Di sebuah desa, seorang perempuan 53 tahun membuka warungnya sejak subuh. Ia melayani pelanggan sambil sesekali menyapu lantai dan menyeduh kopi. Ia bagian dari kelompok usia 45–54 tahun, generasi yang sudah lekat dengan rutinitas tapi tetap produktif. Dari 30,8 juta angkatan kerja di kelompok ini, 30,2 juta bekerja. Rasio mereka bahkan lebih tinggi dari generasi sebelumnya. Mungkin karena di usia ini, pilihan sudah semakin sempit, dan tanggung jawab semakin berat. Tidak ada waktu untuk berpangku tangan.

Namun di kota yang sama, di sebuah bengkel kecil, seorang lelaki 60 tahun sedang membetulkan mesin motor dengan tangan gemetar tapi pengalaman yang kaya. Ia sudah tidak muda, tapi belum juga berhenti. Ia bagian dari kelompok usia 55–64 tahun, di mana masih ada lebih dari 20 juta orang yang masuk dalam angkatan kerja. Dan nyaris 98 persen dari mereka tetap bekerja. Mereka adalah bukti bahwa produktivitas bukan milik yang muda saja. Di balik rambut yang mulai memutih, ada tekad yang tetap menyala.

Dan siapa sangka, di sudut lain kota, seorang nenek berusia 70 tahun sedang menjajakan kue buatan sendiri. Bukan karena terpaksa, tapi karena merasa hidupnya lebih berarti ketika tetap sibuk. Kelompok usia 65 tahun ke atas memiliki lebih dari 10,4 juta orang dalam angkatan kerja, dan 10,2 juta di antaranya tetap bekerja. Rasio mereka paling tinggi: 98,46 persen. Angka yang seolah melawan asumsi umum bahwa usia tua adalah masa istirahat. Di Indonesia, istirahat adalah kemewahan, bukan keniscayaan.

Dari semua kelompok umur itu, Indonesia kini punya 153 juta lebih orang dalam angkatan kerja. Dari jumlah itu, 145,7 juta sudah bekerja. Artinya, secara nasional, 95,24 persen angkatan kerja telah terserap. Tapi jika kita diam sejenak, kita tahu bahwa ini lebih dari sekadar angka. Di balik persentase itu ada mimpi yang tertunda, ada pilihan-pilihan yang berat, ada keputusan untuk tetap bangun pagi meski badan tidak sepenuhnya sanggup.

Mungkin kita tak tahu siapa yang masih menganggur dan kenapa. Bisa jadi karena ekonomi belum cukup cepat menciptakan lapangan kerja. Bisa jadi karena sistem pendidikan belum sinkron dengan kebutuhan industri. Atau mungkin karena sebagian orang memilih jalannya sendiri—menjadi kreator, penjual daring, pengusaha kecil, pekerja lepas, atau pengelana digital.

Tapi satu hal yang pasti, angka-angka itu tidak beku. Ia hidup, bergerak, dan berubah setiap hari, sebagaimana manusia yang menghidupinya. Karena pada akhirnya, angkatan kerja bukan sekadar statistik. Mereka adalah wajah-wajah nyata yang setiap hari naik angkutan umum, membuka toko, duduk di ruang kerja sempit, menjahit, mengajar, mencangkul, atau menulis di malam hari.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |