TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi bidang Pemerintahan DPR Tubagus Hasanuddin menyatakan menghormati segala bentuk sikap dan aspirasi kelompok masyarakat sipil terkait pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI atau Revisi UU TNI.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan membuat petisi menolak kembalinya dwifungsi melalui pembahasan revisi UU TNI. Petisi ini dibuat melalui situs Change.org pada 16 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"(Soal petisi) Saya pikir ini sebuah proses demokrasi, masukan-masukan, dan sebagainya. Kami menghormati itu," kata Hasanuddin di komplek Parlemen Senayan, Senin, 17 Maret 2025.
Hingga Selasa, 18 Maret 2025 pukul 00.30 dini hari, petisi tersebut telah ditanda tangani oleh 11.709 orang.
Dalam rincian petisi, koalisi mengatakan terdapat pasal-pasal yang bisa mengembalikan militerisme di Indonesia dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) revisi UU TNI yang disampaikan pemerintah kepada DPR, 11 Maret 2025.
“Kami menilai agenda revisi UU TNI tidak memiliki urgensi transformasi TNI ke arah yang profesional. Justru akan melemahkan profesionalisme militer,” kata Koalisi dalam petisi tersebut, dilihat TEMPO pada Senin, 17 Maret 2025.
Meski dihujani kritik, DPR berencana membawa pembahasan revisi UU TNI ke rapat paripurna, lusa mendatang atau Kamis, 20 Maret 2025.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Fajri Nursyamsi mengaku tak terkejut apabila revisi UU TNI bakal segera disahkan. Sebab, menurut dia, sejak awal pembahasan RUU TNI dilakukan secara ugal-ugalan dan tidak sesuai prosedur.
Fajri menjelaskan, proses pembuatan atau pembentukkan peraturan terutama Undang-Undang, umumnya dibahas apabila usulan tersebut masuk dalam agenda RUU prioritas. Masalahnya, revisi UU TNI tidak tercantum sebagai RUU prioritas DPR 2025.
Justru, kata dia, usulan untuk mengakomodir RUU TNI menjadi RUU prioritas datang dari Menteri Pertahanan yang mengirimkan surat pada Ketua Komisi bidang Pertahanan DPR pada 7 Februari lalu.
"Selain ugal-ugalan, DPR juga menabrak aturan tata tertibnya karena memaksakan pembahasan RUU TNI yang sebetulnya tidak ada dalam RUU prioritas 2025," ujar Fajri.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengaku memahami munculnya gerakan penolakan revisi UU TNI ini. Namun, ia meminta agar masyarakat lebih jeli dalam menjaring dan mencerna informasi yang beredar di media sosial.
"Penolakan di media sosial itu substansi dan masalah dari Pasal yang ada tidak sesuai dengan yang dibahas," kata Dasco dalam konferensi pers di komplek Parlemen Senayan, Senin, 17 Maret 2025.
Dasco menegaskan, dalam prosesnya hanya tiga Pasal yang kemudian diakomodasi masuk ke dalam revisi UU TNI. Ketiga Pasal itu adalah Pasal 3, Pasal 47, dan Pasal 53.
Menurut dia, secara prinsip dan tujuan, pembahasan ketiga Pasal itu dilakukan sebagai bentuk penguatan internal TNI, serta upaya mengakomodasi ketentuan yang ada di UU instansi lain, misalnya ihwal penempatan militer aktif di jabatan sipil.