JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kebijakan penyelesaian pelanggaran kendaraan over dimension over loading (ODOL) yang mulai ditegakkan pemerintah memicu gelombang penolakan dari kalangan sopir truk di berbagai daerah. Aspirasi mereka bergema dari wilayah barat hingga timur Pulau Jawa, menyuarakan kekhawatiran yang sama: penerapan kebijakan ini dinilai menyulitkan dan berpotensi menurunkan kesejahteraan para pengemudi truk kecil hingga pelaku usaha logistik rakyat.
Di Banjarnegara, Jawa Tengah, ratusan sopir truk memadati alun-alun kota dan memblokade jalan nasional di sekitar Gedung DPRD serta Jalan DI Panjaitan. Aksi ini berlangsung dengan tuntutan yang tegas: pemerintah diminta menunda penindakan aturan zero ODOL. Para sopir khawatir, kebijakan ini akan berdampak langsung pada meningkatnya ongkos logistik dan berimbas pada harga barang kebutuhan pokok.
Gejolak serupa juga terlihat di jalur Pantura, tepatnya di wilayah Alas Roban, Subah, Kabupaten Batang. Sejak pagi, ratusan truk berjajar di dua lajur jalan utama, menahan laju kendaraan dan membuat arus lalu lintas lumpuh total. Mereka mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan zero ODOL, yang dinilai belum berpihak pada realitas di lapangan.
Sementara itu di kawasan Solo Raya, sejumlah titik turut menjadi medan aksi. Di Karanganyar, Boyolali, hingga Wonogiri, para sopir turun ke jalan menggelar unjuk rasa dengan narasi yang hampir senada. Mereka menyuarakan keresahan atas ancaman penindakan, termasuk sanksi pidana bagi pelanggar aturan ODOL, yang dianggap memberatkan dan tidak memberikan ruang transisi yang cukup.
Gelombang protes juga menyentuh wilayah pantura timur, seperti Kudus dan daerah sekitarnya. Tak kurang dari ratusan sopir ikut ambil bagian dalam aksi unjuk rasa, membawa spanduk tuntutan dan menyerukan perlunya solusi konkret seperti program subsidi peremajaan armada truk yang tidak sesuai spesifikasi.
Penolakan terhadap kebijakan ini tidak hanya berhenti di Jawa Tengah. Di wilayah Jawa Timur, aksi serupa turut mencuat di Malang dan sejumlah kawasan di sekitarnya. Para sopir menilai, kebijakan Zero ODOL belum mempertimbangkan kondisi ekonomi pengemudi dan pelaku logistik skala kecil-menengah yang selama ini menjadi tulang punggung distribusi barang di berbagai daerah.
Meski diberlakukan dengan tujuan menekan risiko kecelakaan dan kerusakan jalan akibat kelebihan muatan, kebijakan Zero ODOL masih menuai banyak catatan dari pelaku lapangan. Aksi-aksi protes ini menjadi sinyal penting bagi pemerintah agar membuka ruang dialog yang lebih inklusif, agar penegakan aturan tidak berujung pada ketimpangan dan ketegangan sosial.
Sebenarnya apa sih ODOL itu sampai-sampai sopirtruk ramai-ramai melakukan penolakan?
Aturan Zero ODOL adalah kebijakan yang dicanangkan oleh Kementerian Perhubungan RI untuk melarang operasional truk Over Dimension Over Loading (ODOL) di jalan, terutama di jalan tol dan jalan nasional.
- Over Dimension (OD): Kendaraan/truk yang dimensi fisiknya (panjang, lebar, tinggi) melebihi ukuran standar yang diperbolehkan dalam regulasi.
- Over Loading (OL): Kendaraan/truk yang mengangkut muatan melebihi batas maksimal yang ditentukan dalam aturan.
Tujuan aturan Zero ODOL:
- Menjaga keselamatan lalu lintas – Truk ODOL rawan kecelakaan karena tidak stabil dan membahayakan pengguna jalan lain.
- Melindungi infrastruktur jalan dan jembatan – Beban berlebih dari truk ODOL mempercepat kerusakan jalan dan jembatan.
- Meningkatkan ketertiban angkutan barang – Agar pengusaha angkutan mengikuti regulasi dan tidak bersaing secara tidak sehat dengan cara melanggar aturan dimensi dan muatan.
Target penerapan:
Awalnya, kebijakan Zero ODOL ditargetkan mulai berlaku penuh pada 2023, namun karena berbagai faktor, termasuk penyesuaian dunia usaha dan pandemi, implementasinya mengalami beberapa kali penundaan. Pemerintah tetap berkomitmen menerapkannya secara penuh di masa depan.
Sanksi bagi pelanggar:
- Tilang
- Penurunan muatan di tempat (bongkar muatan)
- Larangan melintas
- Pencabutan izin operasional (bagi yang bandel secara terus-menerus)
Banyak sopir truk dan pengusaha angkutan barang menolak atau keberatan terhadap kebijakan Zero ODOL karena dianggap merugikan mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Berikut alasan utama penolakan dan dampaknya bagi mereka:
- Pengurangan Muatan = Pengurangan Pendapatan
- Truk ODOL biasanya bisa membawa muatan lebih banyak dari batas resmi.
- Kalau harus mengikuti aturan Zero ODOL, sopir hanya bisa angkut muatan sesuai standar, sehingga jumlah angkutan per trip berkurang.
- Padahal upah sopir sering kali berbasis jumlah muatan atau jumlah ritase (perjalanan).
- Akibatnya, pendapatan sopir dan kernet berkurang.
- Biaya Operasional Naik
- Untuk mengangkut muatan yang sama, kini dibutuhkan lebih banyak truk.
- Artinya, pengusaha angkutan harus menambah armada dan sopir, sehingga biaya operasional membengkak.
- Truk Harus Dimodifikasi atau Diganti
- Truk ODOL harus dipotong, ditertibkan, atau diganti sesuai dimensi resmi.
- Biaya modifikasi ini tidak murah dan sebagian besar ditanggung pengusaha kecil atau sopir mandiri.
- Banyak yang menganggap ini tidak adil, karena kendaraan yang dulu diizinkan (bahkan lulus uji KIR), kini dianggap ilegal.
- Masa Transisi Terlalu Singkat
- Mereka merasa belum cukup waktu untuk menyesuaikan diri.
- Sebagian meminta penundaan atau keringanan, terutama bagi pelaku UMKM di sektor logistik.
- Ketidaksiapan Industri & Sistem
- Sejumlah pelaku logistik menilai belum ada subsidi silang, solusi konkret, atau insentif untuk pelaku usaha kecil.
- Penegakan hukum di lapangan kadang juga tidak konsisten, menimbulkan kesan tebang pilih. [*]
Berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.