TEMPO.CO, Jakarta - Ayah dari Afif Maulana, Afrinaldi, mengatakan akan bersurat kepada Komisi III DPR setelah Polda Sumatera Barat memutuskan untuk menghentikan penyelidikan kasus kematian anaknya yang ditemukan tewas di bawah Jembatan Kuranji pada Juni 2024. “Dalam waktu dekat kami akan menyurati Komisi III terkait dengan penghentian kasus,” kata Adrinaldi saat dihubungi, Jumat, 3 Januari 2025.
Ia mengatakan surat yang akan disampaikan kepada komisi yang membidangi hukum, hak asasi manusia, dan keamanan negara itu dimaksudkan sebagai peluang untuk melanjutkan proses hukum. “Meminta kepada Komisi III untuk mendorong proses hukum yang komprehensif serta memberikan keadilan dalam kasus Afif Maulana,” ujar dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Afrinaldi, polisi menempuh jalan yang tidak sesuai dengan prosedur atas keputusan penghentian penyelidikan kasus. Ia menilai kepolisian telah mengabaikan alat bukti yang telah dihadirkan oleh korban dan kuasa hukum.
Afrinaldi juga membeberkan kejanggalan selama proses penyelidikan. Ia mengatakan dalam gelar perkara termin 1 yang memaparkan 81 tindakan oleh penyidik tidak disertai dengan penjelasan atas temuan dan alat bukti yang dimiliki. “Kepolisian tidak transparan dan akuntabel padahal kuasa hukum telah meminta untuk dipaparkan,” tutur Afrinaldi.
Ia optimis dengan menghadirkan ahli untuk mendalami dan melengkapi bukti dapat menyelesaikan kasus ini menjadi terang-benderang. “Korban serta kuasa hukum tidak kehilangan semangat dalam kasus ini,” kata dia.
Afrinaldi mengatakan LBH Padang selaku kuasa hukum mereka akan mencoba menghadirkan bukti kepada kepolisian melalui forensik foto, ahli psikologis anak, dan saksi. Ia mengatakan sudah mengkoordinasikan rencana ini dengan KPAI untuk menghadirkan bukti berupa tambahan ahli. “Dengan kuatnya alat bukti kasus ini bisa dilanjutkan.”
Proses gelar perkara kematian Afif Maulana, bocah 13 tahun yang ditemukan tewas di bawah Jembatan Kuranji pada Juni 2024, menuai kritik dari LBH Padang. Mereka menilai gelar perkara yang dilakukan Kepolisian Daerah Sumatera Barat (Polda Sumbar) tidak transparan dan minim akuntabilitas. Namun, Kabid Humas Polda Sumbar Komisaris Besar Dwi Sulistyawan menegaskan bahwa mekanisme tersebut sudah sesuai prosedur.
“Memang mekanisme seperti itu, di termin pertama pelapor diminta untuk memberikan informasi selengkap-lengkapnya terkait dengan kejadian yang dilaporkan, sedangkan untuk termin kedua pelapor tidak dilibatkan," kata Dwi kepada Tempo saat dihubungi Kamis, 2 Januari 2025.
Gelar perkara khusus kasus ini berlangsung pada Selasa, 31 Desember 2024. Dalam termin pertama, penyidik memaparkan langkah-langkah penyelidikan, termasuk olah tempat kejadian perkara (TKP), pemeriksaan saksi, dan hasil autopsi. Sementara pada termin kedua, proses berlangsung secara internal tanpa melibatkan keluarga korban maupun kuasa hukum.
Dwi menjelaskan, sesi kedua gelar perkara khusus itu merupakan ranah internal kepolisian yang kegiatannya diawasi oleh pengawas dari Inspektorat Pengawasan Daerah (Itwasda) serta Divisi Profesi dan Pengamanan atau Propam Polda Sumbar. Polda Sumbar mengklaim bahwa hal tersebut telah sesuai dengan aturan dari kepolisian.
LBH Padang menyebut mekanisme ini tidak mencerminkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. “Proses gelar perkara termin pertama tidak transparan. Penyidik tidak menjelaskan hasil temuan CCTV, pemeriksaan ahli forensik, dan dugaan penyiksaan terhadap korban,” kata Adrizal, pengacara publik LBH Padang, dalam keterangan tertulisnya, Rabu.
LBH Padang bersama keluarga korban kini mengajukan sengketa informasi untuk mendapatkan dokumen autopsi dan ekshumasi yang dianggap penting untuk mengungkap fakta kematian Afif Maulana. Mereka berharap dokumen tersebut dapat memberikan kejelasan lebih lanjut atas kasus yang dianggap penuh kejanggalan ini.
Intan Setiawanty turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.