TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti penyerangan terhadap warga Desa Selamat, Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, yang dilakukan oleh personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 8 November lalu. Penyerangan itu mengakibatkan satu orang warga tewas dan puluhan warga lainnya terluka.
Koordinator Badan Pekerja KontraS, Dimas Bagus Arya, menyatakan bahwa para pelaku segera harus diproses dan diadili melalui mekanisme peradilan umum, bukan peradilan militer. “Sebab, menurut kami, telah jelas tergambar bahwa para terduga pelaku melanggar dan memenuhi unsur-unsur pasal yang tertulis dalam Pasal 340 dan Pasal 354 Ayat (1) dan (2) KUHP,” kata Dimas dalam keterangan resmi, dikutip Selasa, 12 November 2024.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, kata dia, menegaskan bahwa prajurit TNI harus tunduk dan patuh terhadap kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran terhadap hukum pidana umum.
Dimas menilai bahwa tindak kekerasan yang dilakukan oleh Batalion Artileri Medan-2/Kilap Sumagan terhadap warga Deli Serdang telah memenuhi unsur Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana dan Pasal 354 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tentang Penganiayaan Berat. “Hal ini terlihat dari adanya jeda waktu antara perselisihan yang terjadi pada sore hari dengan waktu terjadinya penyerbuan dan tindak kekerasan yang dilakukan,” kata dia.
Lebih lanjut, KontraS melihat unsur perencanaan itu lewat adanya benda tajam serta senjata api yang dibawa prajurit TNI untuk melakukan penyerbuan ke desa tersebut.
Adapun Dimas meminta para tentara itu untuk diproses di peradilan umum karena dia menilai proses penegakan hukum bagi prajurit TNI belum berjalan optimal. “Peradilan Militer selama ini menjadi salah satu faktor langgengnya budaya impunitas didalam tubuh TNI,” tutur Dimas. Ia menganggap mekanisme peradilan militer tidak dapat menjamin prinsip fair trial, independensi, dan imparsialitas peradilan.
Sepanjang Oktober 2023 hingga September 2024 lalu, KontraS mencatat setidaknya terdapat 131 vonis yang diberikan terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana. Namun, kata Dimas, hukuman yang diberikan cenderung ringan dengan rentang hukuman 3 hingga 10 bulan penjara. “Padahal kasus yang mereka lakukan bukanlah kasus ringan, data kami menunjukan terdapat 123 kasus penganiayaan, 2 kasus pembunuhan, dan 6 kasus pembunuhan berencana,” ungkap Dimas.
Sebelumnya, puluhan anggota TNI AD dari Batalion Artileri Medan-2/Kilap Sumagan melakukan penyerangan terhadap sejumlah warga di Desa Selamat, Kecamatan Sibiru Biru, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara pada Jumat malam, 8 November hingga Sabtu dini hari, 9 November 2024.
Dalam keterangan tertulisnya, Kapendam I/Bukit Barisan, Kolonel Inf Dody Yudha mengatakan sebanyak 33 prajurit TNI AD telah terkonfirmasi terlibat dalam penyerangan ke warga di Deli Serdang. Menurut dia, tidak menutup kemungkinan jumlah prajurit yang terlibat masih bisa bertambah.
Dody berujar, pihaknya dan polisi militer setempat sedang melakukan penyelidikan lebih lanjut perihal motif penyerangan puluhan anggota TNI AD tersebut. Dody menyatakan bakal mengusut insiden penyerangan itu hingga tuntas.
Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengatakan serangan di Deli Serdang itu bermula saat puluhan prajurit TNI AD menegur dan menertibkan sejumlah anak muda dari kelompok geng motor.
"Jadi memang diawali oleh, ya, anak-anak muda kebut-kebutan pakai motor, ditegur sama anggota," kata Agus ditemui di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur pada Senin, 11 November 2024.
Agus mengatakan anggotanya menegur karena aktivitas geng motor telah meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban jalan. Menurutnya, aktivitas geng motor di jalan mengganggu ketertiban masyarakat, sehingga perlu ditertibkan. Namun, ujarnya, sejumlah warga tidak terima dengan teguran dari prajurit TNI AD.
"Terjadi adu mulut, perkelahian, kemudian maka terjadilah perkelahian massal," ucapnya.
Novali Panji Nugroho berkontribusi dalam penulisan artikel ini.