Latar Belakang Terjadinya Pemberontakan Andi Azis dan Kronologinya

1 month ago 57

TEMPO.CO, JAKARTA - Pemberontakan Andi Azis merupakan salah satu gerakan perlawanan yang terjadi saat awal-awal kemerdekaan Indonesia. Latar belakang terjadinya pemberontakan Andi Azis adalah rencana terkait penggabungan Negara Indonesia Timur (NIT), sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) ke Negara Republik Indonesia.

Seperti namanya, pemberontakan Andi Azis dilakukan oleh mantan Perwira KNIL ((Koninklijk Nederlands-Indische Leger/Tentara Kerajaan Hindia Belanda) Andi Abdul Azis. Gerakan perlawanan itu dilakukan Andi Azis bersama pasukannya pada 5 April 1950 dengan menyerang tangsi/asrama APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat).

Berikut informasi lebih lanjut mengenai latar belakang terjadinya pemberontakan Andi Azis.

Latar Belakang Terjadinya Pemberontakan Andi Azis

Mengutip dari Ensiklopedia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, salah satu latar belakang terjadinya pemberontakan Andi Azis adalah perbedaan politik yang kuat terkait isu penggabungan negara bagian Republik Indonesia Serikat kepada Negara Republik Indonesia.

Saat itu, Andi Azis adalah salah satu perwira militer yang bertugas di Negara Indonesia Timur (NIT). Sebagai seorang federalis, Andi Azis memandang bahwa ide membubarkan negara-negara federal termasuk NIT adalah tidak tepat. Ia meyakini bahwa kesatuan Indonesia dapat dicapai secara perlahan-lahan, tanpa harus adanya revolusi.

Alasan lain yang mendorong ia untuk melakukan pemberontakan ini adalah karena ambisinya yang kuat dalam dunia militer. Ketika ia dipilih untuk menjadi ajudan dari Presiden Soekawati, presiden NIT, muncul sebuah harapan besar baginya untuk bisa menjadi tokoh militer utama di Negara Indonesia Timur.

Karena itu, pembubaran NIT dapat menjadi ancaman besar pula bagi karir Andi Azis yang selama ini telah ia ukir sejak remaja. Oleh karena itu, ambisi militer menjadi salah satu alasan lain mengapa ia bertekad kuat untuk terus mempertahankan NIT.

Kronologi Pemberontakan Andi Azis

Pada Rabu, sekitar pukul satu dini hari, 5 April 1950, Andi Azis membacakan pernyataannya dan menyebarkan melalui Radio Makassar bahwa dia dan pasukannya telah melepaskan diri dari persekutuan KNIL dan telah berangkat sebagai pejuang bebas untuk pelestarian Negara Indonesia Timur.

Bersama pasukannya, ia kemudian menyerang tangsi/asrama APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) di Klapperlaan (Jalan Monginsidi) dan markas staf di Coenenlaan (Jalan Guntur). 

Serangan ini mendapatkan perlawanan dari pasukan yang dipimpin oleh Letnan Satu Andi Sapada. Pertempuran hanya berlangsung selama dua jam karena kalah jumlah pasukan. Pasukan Letnan Satu Andi Sapada kemudian bergerak menjauh dari markas ke Pandang-Pandang (Sungguminasa), sehingga Kota Makassar dapat dikuasai pasukan Andi Azis.

Pengejaran pasukan masih berlanjut sampai ke Sungguminasa yang mengakibatkan terjadi lagi pertempuran. Perlawanan dari pasukan APRIS/TNI di tangsi Pandang-Pandang tidak mampu dikalahkan secara cepat oleh pasukan Andi Azis. Akhirnya, Andi Azis menarik lagi pasukannya ke kota. 

Kesempatan ini digunakan pasukan TNI dan pejuang Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) untuk melakukan konsolidasi dan koordinasi memperkuat pertahanan di Pallangga, Polongbangkeng, dan Jeneponto. Dengan demikian, wilayah yang terletak di sekitar Kabupaten Makassar masih diduduki dan dapat dikendalikan.

Pada sore harinya setelah melakukan penyerangan pada pagi 5 April 1950, Andi Azis menyatakan bahwa gerakan tentara ini disebutnya "vrije strijders" (pejuang bebas) untuk mempertahankan Negara Indonesia Timur.

Akhir Pemberontakan Andi Azis

Pada siaran radio di Makassar, 7 April 1950, Diapari (perdana menteri Negara Indonesia Timur) menyatakan peristiwa itu tidak dikehendaki oleh pemerintah Negara Indonesia Timur. Meskipun demikian, pemerintah ini tidak dapat melepaskan sangkaut-paut dan tidak ada di belakang peristiwa ini.

Menteri Penerangan NIT, Ratulangi, tiba di Jakarta pada 7 April 1950 melaporkan bahwa penyerangan itu dilakukan oleh Kapten Andi Azis beserta pasukannya (eks KNIL) yang berjumlah kurang lebih 300 orang. Andi Azis kemudian dipanggil ke Jakarta untuk mempertanggung jawabkan tindakannya.

Setelah itu, dia diterbangkan ke Yogyakarta, untuk mengikuti proses persidangan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dianggap tindakannya telah menghina sumpah tentara, Andi Azis pun dijatuhi hukuman selama 14 tahun penjara.

Pada 1958, Andi Azis kemudian dibebaskan dengan syarat tetap melapor kepada pihak yang berwajib setiap hari Senin. Setelah keluarnya dari penjara, Andi Azis terjun ke dunia bisnis dan bergabung bersama Soedarpo Sastro Sartono di perusahaan pelayaran samudera. Karena penyakit jantung yang dideritanya, pada 1984 Andi Azis meninggal di Rumah Sakit Husada, Jakarta.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |