Masih Dijalankan oleh 306 Pemda, Menteri LH: TPA Open Dumping Jadi Bom Waktu

4 weeks ago 25

TEMPO.CO, Jakarta - Masalah tempat pemrosesan akhir (TPA) yang dikelola secara pembuangan terbuka (open dumping) sudah terlalu lama berlarut. Berdasarkan data yang ada, sebanyak 306 pemerintahan provinsi/kabupaten/kota yang hingga kini terus mengoperasikan TPA open dumping di wilayah masing-masing.

Padahal, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah sudah dengan tegas memandatkan agar jenis TPA itu tidak dioperasikan lagi di Indonesia. "Permasalahan TPA open dumping ini dapat menjadi bom waktu jika tidak segera diselesaikan,” kata Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Hanif Faisol dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengelolaan Sampah 2024 bersama para kepala daerah di Jakarta, Kamis 12 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Oleh sebab itu, Hanif meminta pemerintah daerah untuk dapat menata TPA di daerahnya. Dia menyebut metode pengelolaan dengan cara lahan urug saniter, atau sekurang-kurangnya lahan urug terkendali, dan hanya menerima residu. Hanif mengingatkan, TPA bukanlah tempat penimbunan sampah melainkan tempat pemrosesan akhir, "yang berarti hanya residu-residu saja yang boleh masuk ke TPA."

Dasar Larangan TPA Open Dumping

Pelarangan TPA open dumping diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 lewat Pasal 29 ayat (1) huruf f yang menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di tempat pemrosesan akhir. Pasal ini, kata Hanif, mengakhiri sistem open dumping di tanah air. 

Kemudian, Pasal 44 ayat (1) yang menyebutkan bahwa pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama satu tahun terhitung sejak berlakunya UU tersebut.

Pasal 44 ayat (2), pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama lima tahun terhitung sejak berlakunya UU Pengelolaan Sampah. “Maka, berdasarkan hasil rakornas ini, menteri dan kita semua akan mengambil kesimpulan untuk, pertama, menyelesaikan dan menutup open dumping," katanya menegaskan.

Kemudian, Hanif menambahkan, mengelola dengan sistem baru, dengan sistem sanitary landfill atau controlled landfill. "Tapi sebaiknya kita lebih memilih pada sanitary landfill supaya kondisi lingkungan benar-benar kita jaga,” kata Hanif.

Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq usai menghadiri Rapat Koordinasi Nasional Pengelolaan Sampah Tahun 2024 di Jakarta, Kamis 12 Desember 2024. (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)

Ia juga mengingatkan, pengelolaan sampah tidak hanya menjadi isu lokal, melainkan juga isu global, yang sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang belum dapat diselesaikan. Berdasarkan data pada Global Waste Management Outlook 2024, masih terdapat 38 persen sampah global yang tidak terkelola dengan baik yang berkontribusi pada triple planetary crisis: polusi, hilangnya biodiversitas, perubahan iklim.

Jumlah timbulan sampah semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, ditambah dengan budaya masyarakat yang tidak ramah sampah. Angka konversi dari sampah pun terus meningkat yang saat ini diperkirakan mencapai satu kilogram sampah per satu jiwa.

Hanif mengatakan, gas metana yang dihasilkan dari landfill yang tidak terkelola dengan baik mempunyai daya rusak atmosfer 28 kali lebih besar dari karbon dioksida. "Oleh karenanya, upaya untuk mengurangi timbulan sampah yang ditimbun di TPA menjadi wajib untuk dilakukan oleh seluruh pemerintah daerah,” ujarnya.

3 Persen APBD untuk Kelola Sampah

Dalam kesempatan yang sama, Hanif menyampaikan pengelolaan sampah yang baik di daerah, dari proses hulu hingga hilir, membutuhkan alokasi anggaran sebesar tiga persen dari APBD. Persentasi itu, menurutnya, sudah memperhitungkan konversi sampah 0,75-1,00 kilogram per hari per orang. 

Ia prihatin alokasi anggaran pengelolaan sampah selama ini yang tidak sampai satu persen. Karena itu pemerintah daerah (pemda) diharapkan dapat lebih terbuka terhadap permasalahan sampah di daerahnya.

Hanif menegaskan jangan sampai pemda memiliki pemikiran pengelolaan sampah membebankan anggaran. Ia mengingatkan agar seluruh pihak tidak menganggap enteng masalah sampah, apalagi dengan anggapan membebani anggaran.

“Jangan main-main dengan ini. Kalau kita masih membedakan ini, dengan berpikir bahwa masalah sampah jadi beban kepada anggaran belanja daerah atau negara, ini akan berakibat fatal buat kita. Ini serius,” katanya.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |