Negosiasi KTT G20 di Rio Dilaporkan Capai Terobosan dalam Pendanaan Iklim

2 hours ago 3

TEMPO.CO, Jakarta - Ketegangan diplomatik mengenai pemanasan global meluas ke perundingan KTT G20 di Brasil pekan ini. Kendati demikian, sumber-sumber mengatakan bahwa 20 negara besar tersebut mencapai konsensus yang rapuh mengenai pendanaan iklim yang tidak tercapai dalam perundingan PBB (COP29) di Azerbaijan.

Para kepala negara tiba di Rio de Janeiro pada Ahad untuk menghadiri KTT G20 dan akan menghabiskan Senin dan Selasa 18-19 November 2024 untuk mengatasi masalah-masalah mulai dari kemiskinan dan kelaparan hingga reformasi lembaga-lembaga global. Namun, perundingan iklim PBB yang sedang berlangsung telah menyoroti upaya mereka untuk mengatasi pemanasan global.

Meskipun KTT COP29 di Baku, Azerbaijan, ditugaskan untuk menyepakati tujuan memobilisasi ratusan miliar dolar untuk iklim, para pemimpin Kelompok 20 negara dengan ekonomi besar yang terletak di belahan dunia lain di Rio memegang kendali dalam hal anggaran.

Negara-negara G20 menyumbang 85 persen perekonomian dunia dan merupakan kontributor terbesar bagi bank pembangunan multilateral yang membantu mengarahkan pendanaan iklim.

“Sorotannya tentu saja tertuju pada G20. Mereka menyumbang 80 persen emisi global,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres kepada wartawan di Rio de Janeiro pada Ahad. Ia menyatakan keprihatinannya mengenai keadaan perundingan COP29 di Baku dan meminta para pemimpin G20 berbuat lebih banyak untuk melawan perubahan iklim.

“Sekarang adalah waktunya untuk kepemimpinan dengan memberi contoh dari negara-negara dengan ekonomi dan penghasil emisi terbesar di dunia,” kata Guterres.

Ketua bidang iklim PBB Simon Stiell menulis surat kepada para pemimpin G20 pada Sabtu meminta mereka untuk bertindak dalam pendanaan iklim, termasuk meningkatkan hibah untuk negara-negara berkembang dan memajukan reformasi bank pembangunan multilateral.

Namun, perselisihan yang sama yang melanda COP29 sejak dimulainya pekan lalu menjadi inti perundingan G20, menurut diplomat yang dekat dengan perundingan di Rio.

COP29 harus menetapkan tujuan baru mengenai seberapa besar pembiayaan harus diarahkan dari negara maju, bank multilateral, dan sektor swasta ke negara berkembang. Para ekonom mengatakan pada pertemuan puncak tersebut bahwa dana tersebut harus berjumlah setidaknya US$1 triliun.

Negara-negara kaya, terutama di Eropa, mengatakan bahwa tujuan ambisius hanya dapat disepakati jika mereka memperluas basis kontributornya hingga mencakup beberapa negara berkembang yang lebih kaya, seperti Cina dan produsen minyak utama di Timur Tengah.

Pada Sabtu, diskusi mengenai pernyataan bersama G20 di Rio terhenti pada isu yang sama, dimana negara-negara Eropa mendorong lebih banyak negara untuk berkontribusi. Namun, negara-negara berkembang seperti Brasil menolaknya, kata diplomat yang dekat dengan pembicaraan tersebut kepada Reuters.

Meski demikian pada Ahad pagi, para perunding menyetujui sebuah teks yang menyebutkan kontribusi sukarela negara-negara berkembang terhadap pendanaan iklim, tetapi tidak menyebut hal tersebut sebagai kewajiban, menurut dua diplomat.

Terobosan tersebut masih dibayangi oleh kembalinya kekuasaan presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump, yang dilaporkan bersiap untuk kembali menarik AS keluar dari perjanjian iklim Paris.

Terpilihnya Trump menimbulkan keraguan mengenai berapa banyak uang yang dapat dikerahkan dunia untuk mengatasi perubahan iklim, mungkin tanpa dukungan dari negara dengan perekonomian terbesar di dunia.

Trump berencana untuk membatalkan undang-undang iklim penting yang disahkan oleh Presiden Joe Biden, yang mengunjungi hutan hujan Amazon ketika ia singgah di sana pada Ahad dalam perjalanan ke Rio.

Keberhasilan tidak hanya COP29 tetapi juga KTT iklim PBB berikutnya, yang akan diselenggarakan di Brasil tahun depan, COP30, bergantung pada kesepakatan ambisius mengenai pendanaan iklim.

Inti dari strategi COP30 Brasil adalah "Misi 1.5", sebuah upaya untuk tetap menghidupkan target Perjanjian Paris yang membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius. PBB memperkirakan target nasional saat ini akan menyebabkan kenaikan suhu setidaknya 2,6 derajat Celcius.

Negara-negara berkembang berpendapat bahwa mereka hanya dapat menaikkan target pengurangan emisi jika negara-negara kaya, yang merupakan penyebab utama perubahan iklim, bersedia menanggung biayanya.

“Secara teknis mungkin untuk mencapai target suhu 1,5 derajat Celcius, namun hanya jika mobilisasi besar-besaran yang dipimpin G20 untuk mengurangi seluruh emisi gas rumah kaca… tercapai,” kata Perdana Menteri Bahama Philip Davis pada COP29 pekan lalu.

Hampir 200 negara di COP29 telah merundingkan kesepakatan baru untuk menyediakan dana yang cukup bagi negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas-gas yang memerangkap panas dan membangun ketahanan terhadap guncangan iklim yang semakin parah.

Hal ini akan membutuhkan bantuan luar sebesar US$1 triliun per tahun pada akhir dekade ini, menurut ekonom independen yang ditugaskan oleh PBB untuk menilai kebutuhan negara-negara berkembang kecuali Cina.

Negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim menginginkan sebagian dari dana tersebut ditanggung oleh negara-negara maju. Namun, para donor mengatakan bahwa mereka tidak dapat mengumpulkan dana tersebut sendirian dan mendesak sektor swasta juga harus dilibatkan.

Mereka juga ingin negara-negara berkembang yang kaya tidak diwajibkan membayar pendanaan iklim – terutama Cina– untuk ikut menanggung beban tersebut.

Uni Eropa adalah kontributor terbesar pendanaan iklim internasional namun menghadapi tekanan politik dan anggaran, dan mungkin akan terekspos jika AS menolak memberikan bantuan di bawah pemerintahan Trump.

Tawar-menawar di Baku berlangsung sangat tegang, namun pertemuan antara pejabat Cina dan Eropa dipandang sebagai secercah harapan di pekan yang suram ini.

REUTERS | FRANCE24

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |