Pergantian Obat Takrolimus untuk Pasien Gagal Ginjal Tingkatkan Risiko Penolakan Organ

18 hours ago 20

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir menyoroti kebijakan efisiensi anggaran pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang berdampak pada sektor kesehatan. Sektor kesehatan sering kali menghadapi tantangan besar, terutama dalam pembiayaan prosedur medis yang kompleks seperti transplantasi ginjal. “Kesehatan merupakan pilar utama dalam pembangunan suatu negara. Ketersediaan layanan kesehatan yang optimal tidak hanya berdampak pada kesejahteraan individu tetapi juga produktivitas nasional,” kata Tony dalam keterangan pers yang diterima Tempo pada pertengahan Maret 2025. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes), telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor HK.02.02/A/548/2025 yang menetapkan strategi pengendalian belanja, dengan pemotongan anggaran kesehatan sebesar Rp 19,6 triliun. Langkah ini menimbulkan kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap pasien gagal ginjal kronik khususnya pasien pasca transplantasi ginjal.

Bagi pasien gagal ginjal, transplantasi ginjal merupakan salah satu prosedur penyelamatan jiwa, sehingga hal ini merupakan harapan hidup bagi mereka. Dalam mewujudkan harapan tersebut, pemerintah menjamin prosedur pencegahan, pemeriksaan, hingga pengobatan bagi 1,5 juta pasien gagal ginjal melalui program Jaminan Kesehatan Nasional. Terbukti dari Rp 2,9 triliun yang sudah dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan untuk pembiayaan penyakit gagal ginjal kronik pada di tahun 2024. Salah satunya adalah prosedur transplantasi ginjal.

Namun demikian, tantangan sebenarnya adalah bagaimana mempertahankan kesehatan ginjal baru pasca operasi dilakukan. Hal ini tidak terlepas dari ketersediaan obat imunosupresan (Takrolimus) yang stabil dan berkelanjutan. Takrolimus mempunyai indikasi untuk pencegahan rejeksi/penolakan organ setelah transplantasi hati atau ginjal. Selain itu, indikasi Takrolimus juga untuk pengobatan rejeksi/penolakan organ hati atau ginjal pada pasien yang sudah mendapatkan obat-obat imunosupresan lainnya.

Sayangnya, beberapa bulan belakangan, perubahan merek takrolimus yang sering terjadi di RS menyebabkan variabilitas kadar obat darah pasien meningkatkan risiko penolakan akut serta memperburuk fungsi ginjal yang ditransplantasikan. “Keadaan ini memicu pertanyaan, apakah hal ini terjadi akibat dari efisiensi anggaran yang sedang digaungkan oleh pemerintah saat ini?” kata Tony.

Penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Arreola-Guerra menunjukkan perubahan obat merek takrolimus berkorelasi dengan peningkatan kejadian penolakan akut pada penerima transplantasi ginjal. Studi ini menemukan bahwa pasien yang mengalami lebih banyak pergantian merek takrolimus memiliki kadar obat yang lebih sering berada di bawah batas terapeutik, yang secara langsung meningkatkan risiko kehilangan graft ginjal.

“Temuan ini memperlihatkan bahwa strategi efisiensi anggaran yang mengarah pada penggantian obat non-originator tanpa kontrol ketat dapat berujung pada konsekuensi medis yang serius bagi pasien transplantasi ginjal,” ujar Tony.

Lebih lanjut Tony menegaskan berdasarkan penelitian oleh Schwartz, pasien yang mengalami pergantian formulasi takrolimus mengalami variabilitas kadar obat yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang tetap menggunakan satu formulasi yang sama. Hal ini berimplikasi pada perlunya pemantauan kadar obat yang lebih sering yang pada akhirnya dapat meningkatkan biaya layanan pemeriksaan laboratorium dan intervensi medis tambahan.

“Dengan adanya keterbatasan pemeriksaan laboratorium yang kerap terjadi di fasilitas kesehatan, hal ini dapat memperburuk hasil klinis pasien transplantasi ginjal,” ujarnya.

Tantangan lain yang dihadapi dalam efisiensi anggaran kesehatan adalah seringnya terjadi kekosongan stok obat imunosupresan di rumah sakit. Kekosongan ini dapat mengakibatkan pasien mengalami jeda dalam pengobatan dan berisiko menyebabkan reaksi imun terhadap ginjal yang ditransplantasikan.

Studi klinis menunjukkan penurunan sementara kadar obat tacrolimus dapat memicu reaksi penolakan akut yang jika tidak ditangani dengan cepat dapat berujung pada kegagalan transplantasi. Jika hal itu terjadi maka membutuhkan tindakan dialisis dan justru menambah beban biaya kesehatan secara keseluruhan.

Di sisi lain, keterbatasan anggaran juga berdampak pada ketersediaan fasilitas laboratorium yang mendukung pemantauan kondisi pasien transplantasi ginjal. Pemeriksaan kadar tacrolimus dalam darah merupakan langkah kritis untuk memastikan efektivitas terapi namun ketersediaan layanan laboratorium yang memadai masih menjadi kendala di banyak fasilitas kesehatan.

“Dengan adanya pemotongan anggaran, kemungkinan besar akses terhadap pemeriksaan ini akan semakin terbatas yang saat ini saja sudah terbatas, dan dapat meningkatkan risiko komplikasi pada pasien,” tambahnya.

Menurut Tony, KPCDI memandang perlu adanya peninjauan kebijakan efisiensi anggaran pada sektor kesehatan khususnya pada sektor penanganan masalah kesehatan ginjal. Harapan ini dilakukan bertepatan Hari Ginjal Sedunia—yang diperingati setiap hari Kamis kedua Maret. KCPDI juga menyelenggarakan diskusi yang bertajuk ‘Apakah Ginjal Anda Baik-Baik Saja? Deteksi Dini, Lindungi Kesehatan Ginjal’. 

Tony mengingatkan bahwa dalam membentuk ketahanan kesehatan global, setiap kebijakan harus mengedepankan kesejahteraan pasien khususnya mereka yang menjalani terapi jangka panjang seperti penerima transplantasi ginjal. “Tanpa strategi yang komprehensif, pemotongan anggaran justru dapat berujung pada peningkatan beban kesehatan nasional akibat meningkatnya jumlah pasien dengan komplikasi medis yang lebih serius,” katanya.

Tony berharap akan ada sinergi antara seluruh pemangku kepentingan dalam menyediakan sistem kesehatan yang berkelanjutan utamanya bagi pasien transplantasi ginjal untuk mencegah komplikasi medis yang lebih serius.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |