GOOTO.COM, Jakarta - Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung, Yannes Martinus Pasaribu menilai ada potensi terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Massal di industri otomotif jika tak kunjung bangkit. Menurut dia, tahun depan tantangan bagi industri otomotif masih akan terus terjadi.
Iklan
"Secara logika, untuk bertahan di tengah persaingan yang ketat dan margin keuntungan yang tipis, perusahaan otomotif akan berupaya menekan biaya produksi," kata Yannes saat dihubungi Gooto, Jumat, 15 November 2024.
"Dalam kondisi ekonomi yang lesu, permintaan kendaraan sering kali berkurang. Jika ini terjadi, perusahaan mungkin mengurangi produksi untuk menghindari kelebihan stok, yang kemudian mengurangi kebutuhan tenaga kerja," ujarnya menambahkan.
Yannes mengatakan bahwa industri otomotif memang dikenal dengan margin keuntungan yang tipis. Hingga kini saja, menurut dia, berbagai komponen pungutan, pajak, dan lain sebagainya, sudah sekitar 45 persen.
PHK ini disebut menjadi salah satu cara pabrikan otomotif untuk tetap bisa bertahan di tengah persaingan ketat. Selain itu, jika permintaan terhadap kendaraan tak kunjung membaik, produsen otomotif akan mengurangi kapasitas produksi mereka.
"Penurunan produksi secara otomatis akan berdampak pada kebutuhan tenaga kerja yang lebih sedikit, sehingga PHK menjadi pilihan yang sulit dihindari," ucap Yannes.
Selain itu, perkembangan teknologi otomatisasi semakin pesat, memungkinkan perusahaan otomotif untuk menggantikan tenaga kerja manusia dengan mesin. Yannes menilai hal tersebut akan semakin mempercepat laju PHK di industri otomotif.
"Penggantian tenaga kerja manusia dengan mesin untuk meningkatkan efisiensi dapat mempercepat PHK dalam jangka panjang. Kemungkinan terjadinya PHK massal di industri otomotif sangat nyata jika kondisi tidak segera membaik," kata dia.
Yannes mengatakan perlu ada kolaborasi antara pemerintah, produsen otomotif, dan serikat pekerja untuk memitigasi dampak PHK massal ini. Dukungan kebijakan atau insentif untuk industri otomotif juga dinilai dapat membantu perusahaan mempertahankan pekerja, sementara kolaborasi dengan serikat pekerja dapat memastikan perlindungan tenaga kerja.
"Di saat yang sama, pemerintah juga punya beban berat sekali untuk meningkatkan ekonomi masyarakat secara keseluruhan, untuk memperbaiki daya beli mereka. Ini rumit sekali," ujar Yannes memungkasi.
Potensi Pasar Otomotif Terpuruk Imbas PPN 12 Persen
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen berlaku mulai 1 Januari 2025. Dengan naiknya PPN ini, harga jual kendaraan dipastikan akan naik.
"Naik 1 persen untuk setiap transaksi akan ada efek multiplier pada kenaikkan harga parts, biaya distribusi, biaya rantai pasok, dan berbagai kegiatan tradisional yang melibatkan para pihak di luar pemilik brand tentunya," kata Yannes.
Kenaikkan harga mobil ini disebut dapat berdampak pada industri otomotif dan juga pada sektor-sektor terkait seperti industri komponen, jasa bengkel, dan asuransi. Implikasi kenaikkan harga ini juga akan berdampak pada penurunan daya beli konsumen, terutama bagi segmen pasar menengah ke bawah yang dinilai sensitif terhadap perubahan harga.
"Hal ini berpotensi menghambat pertumbuhan penjualan mobil di tahun depan, mengingat kendaraan merupakan salah satu komoditas yang memiliki elastisitas permintaan harga yang relatif tinggi. Artinya, perubahan harga kendaraan akan sangat berpengaruh terhadap jumlah permintaan kendaraan tersebut," ujarnya.
"Sederhananya, jika harga mobil naik, maka permintaan mobil akan turun secara signifikan. Sebaliknya, jika harga mobil turun, maka permintaan mobil akan naik secara signifikan. Apalagi jika tidak ada pertumbuhan ekonomi masyarakat yang signifikan," ucapnya menambahkan.
Yannes menilai bahwa kebijakan PPN 12 persen ini akan sangat bergantung pada beberapa faktor seperti kondisi ekonomi makro secara keseluruhan, tingkat inflasi, kebijakan moneter, serta daya saing produk dalam negeri dibandingkan dengan produk impor.
"Jika kondisi ekonomi membaik, tingkat inflasi terkendali, dan kebijakan moneter mendukung, maka dampak negatif kenaikkan PPN terhadap penjualan mobil dapat diminimalisir. Di sisi lain, jika kondisi ekonomi memburuk dan daya beli masyarakat semakin tertekan, maka penurunan penjualan mobil akan semakin dalam lagi," kata Yannes.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021, Pasal 7 Ayat 1 disebutkan bahwa PPN dinaikkan secara bertahap, yakni 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025.
Kenaikan PPN ini akan berdampak terhadap harga jual kendaraan bermotor seperti motor dan mobil. Sebab, harga on the road (OTR) dari sebuah kendaraan dipengaruhi salah satu pajak, yakni PPN.
Pilihan Editor: Segini Lama Masa Pakai Mobil Dinas Kepresidenan Indonesia
Ingin berdiskusi dengan redaksi mengenai artikel di atas? Mari bergabung di grup Telegram pilih grup GoOto