Politikus PKS Mulyanto.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu serentak nasional dan daerah (lokal) menuai polemik. Sejumlah politikus menganggap keputusan itu melanggar UUD 1945 yang mengatur pemilu digelar setiap lima tahun sekali. Selain juga MK dinilai telah membentuk sebuah norma baru.
Namun Ketua Majelis Pertimbangan Pusat PKS, Mulyanto, menyebut MPR RI tidak perlu ikut mengeluarkan original intent (niat asli) untuk menafsirkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kontroversial tersebut. Original intent adalah pendekatan penafsiran hukum yang merujuk pada niat awal pembentuk konstitusi atau undang-undang saat norma tersebut dibuat.
Anggota DPR RI periode 2019-2024 itu menambahkan MPR RI tidak perlu turun gunung terkait perkara ini. Biarkan DPR dan Pemerintah membahas soal ini dalam kapasitas sebagai pembentuk UU.
“Kita khawatir kalau MPR ikut membahas masalah ini maka dapat menimbulkan masalah baru, yakni dualitas tafsir antarlembaga tinggi negara, yakni antara MK dengan MPR RI, yang dapat berkembang dan memicu ketidakpastian hukum," ujar Mulyanto dalam keterangan yang diterima Republika, Kamis (31/7/2025).
Hal tersebut, kata Mulyanto, juga dapat dipandang sebagai intervensi politik (MPR RI) terhadap kekuasaan kehakiman (MK), dan berpotensi melanggar prinsip pemisahan kekuasaan yang sangat dijaga.
"Karena MPR RI saat ini tidak memiliki kewenangan hukum untuk menafsirkan UUD secara otoritatif. Wewenang itu secara konstitusional telah diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi, berdasarkan Pasal 24C UUD 1945. Di mana tafsir MK atas masalah ini bersifat mengikat dan final,” tegas Mulyanto.
Mulyanto menambahkan, pimpinan lembaga tinggi perlu menghayati betul soal ini dan membahas serta mencari solusinya secara teknis di tingkat pembentuk UU, yakni DPR RI dan Pemerintah.