TEMPO.CO, Jakarta - Masalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen masih belum putus, apakah akan dijalankan mulai 1 Januari 2025 sesuai Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, atau Presiden Prabowo menundanya.
Sejumlah elemen masyarakat mulai dari serikat buruh sampai Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) minta pemerintah membatalkannya karena dikhawatirkan menaikkan harga barang ketika pasar sedang lesu seperti saat ini.
Belakangan DPR yang mengesahkan Undang-Undang 7/ 2021 minta pemerintah menundanya. Ketua DPR RI Puan Maharani meminta pemerintah mendengarkan aspirasi masyarakat terlebih dahulu sebelum menerapkan PPN 12 persen pada 1 Januari 2025.
"Kami berharap pemerintah bisa mendengarkan dulu aspirasi dari seluruh masyarakat, dari pengusaha, dari guru dan seluruh elemen masyarakat, sebelum kemudian memutuskan hal yang sangat krusial ini," kata Puan ditemui usai memimpin Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 5 Desember 2024, seperti dikutip Antara.
Dia menuturkan meski rencana penerapan kebijakan tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), namun seyogianya pemerintah dapat terlebih dahulu melihat dinamika yang berkembang di masyarakat.
"Walaupun memang itu sudah ditentukan dalam undang-undang namun pemerintah juga berhak untuk kemudian mengevaluasi karena kami juga harus melihat bagaimana aspirasi masyarakat dan bagaimana situasi ekonomi saat ini," tuturnya.
"Namun harapan dari DPR, saya yakin pemerintah pasti akan mendengarkan dulu aspirasi dari masyarakat."
PPN 12 Persen Hanya untuk Barang Mewah?
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco mengumumkan hasil pertemuan Komisi XI DPR dengan Presiden Prabowo Subianto, bahwa PPN 12 persen diusulkan diterapkan secara selektif dan menyasar pembeli barang-barang mewah. Sementara untuk kebutuhan pokok dan pelayanan publik seperti jasa kesehatan, jasa perbankan dan jasa pendidikan dipastikan tidak diberikan pajak 12 persen dan dikenakan pajak yang saat ini sudah berjalan yaitu 11 persen. Ketua Komisi XI DPR, Muhammad Misbakhun, mengatakan Presiden Prabowo bakal menyiapkan kajian mengenai pengenaan pajak agar nantinya PPN tidak hanya berlaku dalam satu tarif.
Kajian tersebut disiapkan untuk merespons kekhawatiran masyarakat terkait pengenaan PPN 12 persen yang bakal berlaku mulai 1 Januari 2025.
"Rencananya, masih dipelajari oleh pemerintah, dilakukan pengkajian lebih mendalam bahwa PPN nanti tidak berada dalam satu tarif, dan ini masih dipelajari," kata Misbakhun memberikan pernyataan pers di Kantor Presiden Jakarta, Kamis.
Sufmi Dasco Ahmad mengatakan usulan penghitungan PPN agar tidak diterapkan dalam satu tarif itu diusulkan oleh DPR agar nantinya barang-barang seperti kebutuhan pokok dikenakan pajak lebih sedikit daripada yang saat ini ditetapkan.
"Pak Presiden tadi menjawab bahwa akan dipertimbangkan dan akan dikaji mungkin dalam satu jam ini Pak Presiden akan meminta Menteri Keuangan dan beberapa menteri untuk rapat dalam mengkaji usulan dari masyarakat maupun dari DPR tentang beberapa hal pajak yang harus diturunkan," kata Dasco.
Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengatakan bahwa usulan dari DPR dan masyarakat yang ditanggapi secara responsif oleh Presiden Prabowo menjadi mekanisme budaya baru dalam Kabinet Merah Putih dalam pemecahan masalah yang dialami masyarakat.
Ia memastikan masukkan-masukkan yang diberikan sudah ditampung dan segera dikaji oleh pemerintah untuk mendapatkan solusi yang tepat.
"Yang pasti hari ini sebuah proses, yang menurut kami ini budaya yang baru yang dibangun oleh Presiden bersama dengan DPR. Bahwa apapun masukkan dari masyarakat, terutama masukan dari DPR yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat harus direspons dengan cepat," kata Prasetyo seperti dikutip Antara.Pilihan Editor Satuan Layanan Masak Sendiri untuk MBG Bukan Beli Matang, Ini Penjelasan Kepala Badan Gizi Nasional