TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi masyarakat sipil yang fokus pada transparansi tata kelola energi dan sumber daya alam (SDA), Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, menyoal revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara atau UU Minerba yang dirapatkan pada hari ini.
Aryanto Nugroho, Koordinator PWYP menilai proses revisi yang dilakukan oleh Badan Legislatif (Baleg) DPR RI ini terlalu ugal-ugalan, sangat kilat dan tidak transparan. Padahal, sebelumnya revisi UU Minerba itu tidak muncul dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jika ini diteruskan, bisa dikatakan lebih ugal-ugalan dari DPR periode sebelumnya. Apalagi, agenda yang muncul di publik, Baleg menargetkan, Rapat Penyusunan, Rapat Panitia Kerja (Panja), dan Pengambilan Keputusan Penyusunan RUU Minerba akan ditargetkan dalam satu hari saja," kata Aryanto dalam keterangan resminya pada Senin, 20 Januari 2025.
Aryanto khawatir bahwa pelaksanaan rapat dadakan ini tidak lain untuk meloloskan sejumlah pasal yang bermasalah dan hanya menguntungkan segelintir orang saja. “Kami menduga, Penyusunan Rancangan UU Minerba untuk memuluskan upaya mekanisme pemberian izin untuk badan usaha milik Ormas. Ditambah pula dengan Badan Usaha milik Perguruan Tinggi (PT) dan UMKM banyak kalimat yang menyebut dapat diberikan secara Prioritas," ucap Aryanto menjelaskan.
Ia juga mengungkapkan sejumlah pasal bermasalah yang diusulkan dalam penyusunan RUU ini diantaranya:
- Pasal 51 ayat (1) dimana Wilayah Usaha Pertambangan (WIUP) Mineral logam diberikan kepada Badan Usaha, koperasi, atau Perusahaan perseorangan dengan cara lelang atau dengan cara pemberian prioritas.
- Pasal 51A ayat (1) WIUP Mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas.
- Pasal 51B ayat (1) WIUP Mineral logam dalam rangka hilirisasi dapat diberikan kepada badan usaha swasta dengan cara prioritas.
- Pasal 75 ayat (2) Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah, badan usaha swasta atau badan usaha yang dimiliki oleho rganisasi kemasyarakatan keagamaan.
"Hal ini adalah bentuk lain 'jor-joran' izin tambang yang membahayakan bagi keberlanjutan, baik di batubara maupun mineral," tutur Aryanto.
Peneliti Indonesia Parliamentary Center (IPC) Arif Adiputro menyebut bahwa rapat yang digelar Baleg hari ini cacat secara formil. Menurutnya, berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang (UU) Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP) dijelaskan, bahwa UU yang masuk kumulatif terbuka maupun yang masuk prolegnas harus melibatkan partisipasi masyarakat dalam penyusunannya. Dalam hal ini, Arif menilai pelaksanaan rapat sama sekali tidak menyertakan aspirasi masyarakat.
"Konsekuensi dari pengesahan UU minerba yang terburu-buru akan mengakibatkan kurangnya legitimasi dari masyarakat dan menimbulkan konflik di kemudian hari," ujar dia dalam siaran pers yang sama.
Sebelumnya Badan Legislasi DPR RI (Baleg DPR) menggelar rapat penyusunan rancangan undang-undang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) pada siang ini, Senin, 20 Januari 2025. Pertemuan yang digelar di hari terakhir masa reses DPR RI itu bertujuan untuk menyediakan payung hukum buat pemberian tambang kepada organisasi masyarakat keagamaan atau ormas keagamaan.
Rencananya, Badan Legislasi akan membahas perubahan beleid tersebut hingga sore nanti dan bakal mengambil keputusan atas hasil penyusunan RUU Minerba pada malam ini juga yang dijadwalkan pada pukul 19.00 WIB nanti.
Vindry Florentin berkontribusi dalam penulisan artikel ini