TEMPO.CO, Jakarta - Rencana pemerintah dengan mengadakan wacana sekolah libur Ramadan sebulan penuh di tahun 20205 menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Meskipun kebijakan ini belum diresmikan, banyak pihak yang mempertanyakan bagaimana dampaknya bagi siswa-siswi non muslim.
Walaupun tujuan kebijakan ini memang untuk memberi kenyamanan bagi para pelajar muslim agar fokus pada ibadah di bulan Ramadan, namun dalam konteks keberagaman agama yang ada di Indonesia, wacana ini perlu dipertimbangkan kembali mengingat banyak juga siswa-siswi non muslim di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di era kepemimpinan Presiden ke-4, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, di tahun 1999, kebijakan libur sekolah selama 1 bulan Ramadan pernah diberlakukan. Tidak hanya menetapkan libur sekolah selama 1 bulan penuh, sekolah-sekolah juga didorong untuk mengadakan kegiatan seperti pesantren kilat. Tujuan dari program ini adalah agar para siswa dapat lebih mendalami ajaran Islam selama bulan Ramadan.
Dalam kegiatan ini, pihak sekolah juga mengimbau siswa untuk mencatat dan melaporkan aktivitas ibadah mereka, seperti membaca Al-Qur'an (tadarus) hingga melaksanakan salat tarawih.
Namun, kebijakan ini tidak bertahan lama dan hanya diberlakukan pada masa itu. Setelah periode Presiden ke-4 berakhir, aturan mengenai libur sekolah saat Ramadan kembali ke sistem sebelumnya, yaitu libur selama tiga hari di awal bulan puasa. Kebijakan ini lantas diserahkan kepada pemerintah daerah dan pihak sekolah untuk menyesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi masing-masing wilayah.
Edi Subkhan, seorang Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (Unnes) turut menyampaikan pendapatnya mengenai wacana ini. Ia mengatakan bahwa penting bagi pemerintah untuk kembali mempertimbangkan keberagaman dan latar belakang siswa-siswi di Indonesia. Hal ini disampaikan Edi ketika dihubungi pada Selasa, 31 Desember 2024.
“Jika libur satu bulan penuh, agenda yang paling mungkin adalah pesantren kilat bagi siswa Muslim. Namun, bagaimana dengan siswa non-Muslim?” Begitu ujar Edi.
Edi pun menekankan perlu untuk membuat perencanaan kurikulum yang matang terlebih dahulu. Wacana libur Ramadan memang momen yang pas bagi para siswa muslim untuk fokus pada ibadah, tetapi perlu memperhatikan juga hal-hal penting lainnya, jangan sampai kebijakan ini malah memberi ketidaknyamanan pada siswa-siswi yang non muslim.
Payung Hukum
“Kebijakan seperti ini memerlukan payung hukum yang jelas,” kata Edi. Ia menambahkan saran, fokus pembelajaran siswa agama islam dapat dilakukan di bulan ramadan, sedangkan untuk materi lainnya dapat disebar di bulan lainnya.
Tidak hanya Edi, sejumlah pihak juga menyoroti potensi kesenjangan pendidikan yang dapat timbul akibat kebijakan ini. Jika selama bulan Ramadan siswa Muslim lebih banyak berfokus pada pendidikan keagamaan, maka diperlukan strategi yang efektif untuk memastikan bahwa pembelajaran mata pelajaran umum tetap berjalan dengan optimal setelah Ramadan usai.
Mendukung pernyataan dari Edi, Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR, Ledia Hanifa Amaliah, menyatakan setuju bahwa wacana libur sekolah ini perlu dikaji dan dianalisis lagi. Kata Ledia, kajian dan analisis ini dapat ditemukan sisi positif dan sisi negatif terkait kebijakan libur sekolah di bulan Ramadan yang akan ditetapkan. Ia juga menyorot mengenai target pada kegiatan belajar mengajar.
Tidak hanya Ledia, Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar atau lebih sering disapa Cak Imin, juga pada pendapat yang sama. Ia menilai rencana sekolah libur hingga 1 bulan pada bulan ramadhan tidak perlu diterapkan.
Cak Imin juga mengatakan bahwa konsep dari kebijakan ini masih belum jelas. "Saya kira nggak perlu ya. Karena libur Ramadan itu belum jelas konsepnya lah,” katanya pada Sabtu, 11 Januari 2025 pada acara talkshow dengan ketua OSIS SMA sederajat se-Daerah Khusus Jakarta di Gedung Konvensi TMPN Kalibata, Jakarta Selatan.
Rencana sekolah libur Ramadan sebulan penuh sepertinya memang tidak perlu tergesa. Pembelajaran di sekolah sebaiknya tetap berjalan sebagaimana kegiatan sehari-hari. Sebab, kata Cak Imin, puasa seharusnya tidak menghentikan semasua kegiatan bagi para siswa. "Bukan hanya kelamaan (liburnya), puasa itu seperti kebiasaan sehari-hari," ujarnya.
Titik Nurmalasari dan Hanin Marwah berkontribusi dalam penulisan artikel ini.