TEMPO.CO, Jakarta - Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) membongkar pagar laut tanpa izin di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, pada Sabtu 18 Janauri 2025. Pagar sepanjang 30,16 kilometer itu dibongkar atas perintah langsung Presiden Prabowo Subianto. Pembongkaran ini melibatkan 300 personel TNI AL serta ratusan warga setempat.
Kepala Dinas Penerangan TNI AL, Laksamana Pertama I Made Wira Hady, mengatakan operasi tersebut berlangsung lancar. “Kami mengerahkan sejumlah unsur dan prajurit di bawah Pangkalan Utama TNI AL III Jakarta,” ujar Wira. Operasi ini dipimpin oleh Danlantamal III Brigadir Jenderal Harry Indarto, yang menargetkan pembongkaran selesai dalam 10 hari dengan rata-rata dua kilometer pagar bambu dicabut setiap hari.
Keberadaan Pagar Laut
Pagar laut yang membentang melintasi 16 desa di enam kecamatan, termasuk Kronjo, Kemiri, Pakuhaji, Mauk, Sukadiri, dan Teluknaga, telah lama dikeluhkan oleh nelayan setempat. Terbuat dari ribuan batang bambu yang ditancapkan di dasar laut, pagar ini menyulitkan nelayan karena memaksa mereka memutar lebih jauh untuk melaut.
Menurut Harry, pagar ini juga merusak ekosistem pesisir dan mengganggu zona perikanan tangkap serta pengelolaan energi. “Kami berupaya membantu nelayan yang kesulitan akibat keberadaan pagar ini,” tegasnya.
Keberadaan pagar laut tanpa izin ini pertama kali disoroti oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menyegel pagar tersebut pada 9 Januari 2025. Namun, meskipun telah disegel, pemasangan pagar tetap berlangsung, hingga akhirnya Presiden memerintahkan TNI AL untuk melakukan pembongkaran.
Klaim JRP dan Tuduhan kepada Pihak Terkait
Jaringan Nelayan Pantura (JRP) mengklaim sebagai pembuat pagar tersebut, dengan alasan mitigasi bencana tsunami dan abrasi. Mereka juga mengklaim bahwa biaya pembangunan pagar ini berasal dari swadaya masyarakat. Namun, klaim pendanaan yang mencapai miliaran rupiah ini menimbulkan keraguan publik. Beberapa pihak menduga keterkaitan proyek ini dengan kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 yang sejajar dengan lokasi pagar.
Perwakilan manajemen PIK 2, Toni, membantah tuduhan tersebut. “Pembangunan pagar bambu itu tidak ada kaitannya dengan kami,” ujar Toni pada 12 Januari 2025.
Polemik Sertifikasi Lahan
Selain masalah izin, pagar laut ini juga memicu polemik terkait sertifikasi lahan. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menemukan bahwa area pagar laut berada di wilayah dengan 263 bidang sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB). Sertifikat tersebut diterbitkan atas nama beberapa perusahaan, termasuk PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa, serta perseorangan.
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menyatakan akan mengevaluasi sertifikat jika ditemukan adanya cacat prosedural atau material. Ia menegaskan bahwa jika sertifikat terbukti diterbitkan di wilayah laut, sertifikat tersebut dapat dibatalkan.
“Kami akan memastikan apakah titik sertifikat HGB tersebut berada di dalam atau di luar garis pantai. Jika berada di wilayah laut, maka sertifikat itu akan kami tinjau ulang,” kata Nusron.
Kritik terhadap Jalur Birokrasi
Pembongkaran oleh TNI AL mendapat sorotan sebagai indikasi ketidakefektifan jalur birokrasi. Pembina Kelompok Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI), Mulyanto, menyebut langkah Presiden memerintahkan TNI AL menunjukkan kurangnya respons cepat dari KKP. Sebelumnya, KKP memberikan waktu 20 hari kepada pembangun pagar untuk membongkarnya secara mandiri, namun langkah ini dianggap lamban.
Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Banten, Eli Susiyanti, mengungkapkan bahwa area pagar laut berada di zona perikanan budi daya dan tangkap, serta wilayah kerja minyak dan gas bumi. Ia juga menegaskan adanya surat palsu terkait rekomendasi pemanfaatan lahan di kawasan ini, meskipun belum diketahui pelakunya.
Novali Panji Nugroho, Dede Leni Mardianti, dan Riri Rahayu berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Pagar Makan Lautan